Konsep public sphere pada
awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The
Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas
melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.
Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua wilayah yang
memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif
bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek
pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah
kepentingan sosial umum.
Penekanannya
mengenai pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial
yang melekat secara budaya. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public
sphere adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau
profesional bukan pula pejabat atau politikus.
Menurut
Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek
kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur
masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
adalah struktur ideal.
Apa
yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas
yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari
kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan
ini. Ruang publik yang dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak
melainkan sebuah konsep yang praktis, tepatnya culturally-embedded social
practice.
Habermas
mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan
tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal
tempat berbagai gagasan didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada
dalam berbagai pemberitaan diperdebatkan.
Pada
akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai bentuk hubungan dan
struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum aristrokrasi maupun
lingkungan bisnis pada umumnya. Ruang publik seperti ini menurut Garnahm,
bertujuan membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan gereja maupun negara.
Bagaimanapun
banyak dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin
berbeda dalam ukuran dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka,
puncak perdebatan mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya
mengorganisasikan diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus
menerus, sebab itu mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum (Jurgen
Habermas :1993).
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon