Showing posts with label Teori Kritik Sosial. Show all posts
Showing posts with label Teori Kritik Sosial. Show all posts

Friday, October 7, 2016

Review Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konspesi dan Implikasi)

//PEMIKIRAN POLITIK PIERE BOURDIEU

Oleh :
Yoghi Kurniawan Prathama

Review Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konspesi dan Implikasi)

Berbicara mengenai perkembangan teori kritik tentu kita telah mengenal beberapa orang filsuf atau ilmuwan yang konsern di bidang teori kritik seperti Karl Marx, Hegell, Jurgen Habermas, Adorno, Derrida, dan Pierre Bourdieu. Banyak ide – ide atau gagasan kecil dari para tokoh tersebut yang secara ringan maupun ekstream mengkritisi suatu hal, terutama modernism, kapitalisme, globalisasi dan lainnya. Teori kritik berkembang dari kritikan terhadap pemikiran ilmuwan – ilmuwan positivism dan modernism, dengan segala keteraturannya yang rigid dan kaku.
Kita bisa lihat dari beberapa gagasan kritis seperti yang dikemukakan Habermas mengenai Public Spare, dimana perlu adanya ruang – ruang diskusi dalam masyarakat untuk membicarakan hal – hal permasalahan publik sebagai kontra dari otoriter pemerintah dalam menguasai rakyatnya. Kemudian, Derrida dengan teori dekontuksinya serta oposisi binner yang sangat terkenal, yang secara pemikiran mampu mengubah paradigm berpikir ilmuwan – ilmuwan dewasa ini.
Dari beberapa tokoh teori kritis tersebut, saya lebih tertarik untuk membahas mengenai pemikiran Pierre Bourdieu. Dimana tokoh yang dikenal sebagai salah satu filsuf di abad modern ini banyak menelurkan ide – ide gagasannya tentng teori kemsyarakatan utamanya mengkritisi dominasi ekonomi di dalam masyarakat contoh pemikirannya seperti konsep Habitus, Arena, serta  Dominasi Simbolik yang ia tuangkan dalam karya – karyanya.
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis (Wikipedia Indonesia). Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982).[1]
Dari beberapa tulisan yang say abaca, Pierre Bordieau telah menghasilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya. Seperti Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dimana dalam buku -  buku hasil karyanya berisi tentang kritikan terhadap konsep – konsep ekonomi liberal maupun neoliberal, kapitalisme, globalisasi, bahkan pendidikan.  Dari beberapa gagasannya saya akan menguraikan beberapa pemikirannya dan menganalisis implikasi dari pemikirannya dalam realitas saat ini, khususnya di Indonesia.


Pierre Bourdieu tentang Habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka[2]. Sedangkan menurut Ayub Sektiyanto bahwa Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang diterjemahkan menjadi kemampuan yang terlihat alamiah.
Jadi Habitustumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang[3]
Bourdieu dalam bukunya juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu: disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini[4]. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar.

The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured structure: the principle of division into logical  classes which organizes the perception of the social world is itself the products of internalization of the division into social classes. (Bourdiou, 1984. Hal : 170).
Aplikasi dari konsep Habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu bisa kita lihat dengan beberapa contoh kasus dimasyarakat. Misalnya dalam budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat jawa. Kita mungkin mengenal dengan budaya patrimonial, dimana ketundukan seorang rakyat pada raja (penguasa). Tabu bagi masyarakat jawa untuk menentang segala titah raja,  kebiasaan ini sudah melekat dalam tradisi masyarakat jawa. Dimana pemimpin (raja, penguasa, pemerintah) meruapakan titisan tuhan dimuka bumi. Budaya patrimonial ini bisa dilihat pada masa pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Semua struktur pemerintahan terpusat dibawah tampuk komando Soeharto,  segala titah Soeharto harus dilaksanakan. Budaya “bapakisme” atau asal bapak senang sudah terinternalisasi selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, terutama dalam tubuh birokrasi di Indonesia, yang mungkin dewasa ini kita masih bisa merasakannya.
Selain itu, contoh lainnya adalah budaya “Patriarki”atau kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi subordinat dari laki – laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki – laki. Seaktif apapun peranan perempuan diluar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukm, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap kedudukan perempuan menjadi istri rumah tangga, laki – laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi perempuan untuk melakukan tugas laki – laki, termasuk dalam terjun dalam arena politik.

Pierre Bourdieu tentang Kapital (Modal)
Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai capital (modal). Kapital (modal) adalah hal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya[5]. Dimensi modal disini beragam, mungkin itu modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi.
Modal memainkan peran yang cukup sentral dalam hubungan kekuatan sosial. Dimana modal menyediakan sarana dalam bentuk non-ekonomi dominasi dan hierarkis, sebagai kelas yang membedakan  dirinya. Modal merupakan simbolik dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal.
Adanya konsep si miskin dan si kaya, adanya pengusaha dan buruh mencerminkan adanya ketimpangan dalam hal kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan menguasai arena, atau bisa menyesuaikan diri dengan arena yang ada. Pun demikiran dalam konteks politik, saat seseorang memiliki modal politik (sumber daya politik), maka ia akan berperan aktif dalam ranah atau arena politik  untuk mendaptkn sumber – sumber kekuasaan dalam politik, baik itu jabtan, kedudukan, ataupun kewenangan lainnya, termasuk keuntungan dari perburruan rente dalam ranah politk.

Pierre Bourdieu tentang Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat[6]. Ayub Sektiyanto mengemukakan Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Otonomisasi relatif arena ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.”
Aplikasi dari konsep Habitus, Kapital dan Arena ini kita analisis dari realitas yang ada di Indonesia. Pada masa runtuhnya rezim orde lama, sentiment masyarakat Indonesia sangatlah besar kepda Partai Komunis, paham – paham komunis dianggap sebagai paham yang negative, identik dengan kekerasan. Dari stigma negative tersebut, muncul persepsi dalam masyarakat yang menolak paham – paham komunisme berkembang di tengah – tengah masyarakat. Soeharto saat memulai rezimny memanfaatkan Habitus masyarakat saat itu yang membenci komunisme untuk menguasai arena politik pada saat itu, Soeharto pun memainkan peranannya sebagai sosok protagonist yang memiliki modal (capital) sebagai dewa penyelamat dari pemberontakan G30S/PKI untuk menggantikan Soekarno menjadi Presiden Indonesia. Saat sumber kekuasaan telah dimiliki, modal politik sebagai presiden sudah ditangan, selanjutnya bagaimana Soeharto memanfaatkan modal yang dimilikinya untuk membentuk Habitus masyarakat Indonesia dan melanggengkan kekuasaannya.
Lagi – lagi Soeharto mampu melakukan permainannya dengan baik, dilandasi kultur budaya masyarakat Indonesia yang bersifat patrimonial, Soeharto menerapkan sistem pemerintahan sentralistik dalam gaya kepemimpinannya. Dimana kekuasaan terpusat ditangannya, Soeharto dijadikan satu panutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Budaya sentralistik dan Patrimonial yang diterapkan Soeharto dalam gaya kepemimpinannya mampu merasuk dalam masyarakat dengan sendirinya, sehingga Soeharto mampu bertahan menjadi seorang Presiden selama 33 tahun.


Pierre Bourdieu tentang Distinction

Pierre Bourdieu menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku yakni “Distinction: a social critique of the Judgement of Taste” yang di terjemahkan oleh Richard Nice. Dlam bukunya yang dimaksud dengan  “Distinction merujuk pada usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing untuk mengembangkan kekhasan budaya yang menandai mereka keluar dari satu sama lain[7].
Namun, perbedaan ini dapat menjadi fokus perjuangan simbolik (perjuangan untuk pembedaan) di mana anggota suatu kelompok berusaha untuk membangun keunggulan dari pembedaan itu sendiri. Perjuangan simbolis ini pada dasarnya adalah aspek perjuangan kelas. Kontrol atas pengetahuan yang dihargai, sanksi dan dihargai dalam sistem pendidikan merupakan salah satu aspek ini.
Namun, dalam 'Distinction' Bourdieu melemparkan jaringnya lebih luas untuk menangkap pengertian yang lebih umum bentuk dominan penghakiman rasa. Bisa budaya populer seperti musik dianggap sebagai salah satu aspek perbedaan, merek budaya, di mana konsumen berada dalam oposisi yang konstan dengan industri budaya, karena mereka memanfaatkan teknologi untuk mengkonsumsi atau menghasilkan budaya yang mereka sukai.  
Contoh dari konsep distinction ini sangat beragam dari beragai arena yang ada,baik arena politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Misalnya dalam konteks gaya hidup (life style) pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya si kaya dan si miskin. Si kaya memiliki gaya hidup mewah, seperti memakai pakaian bermerek impor, memakai mobil, berdandan modis, makan di restaurant mahal. Berbeda dengan gaya hidup si miskin yang sederhana, dengan pakaian, rumah, dan gaya segala hal yang serba terbatas. Pembedaan ini adalah upaya dari salah satu kelompok untuk mendominasi kelompok lain dengan menunjukan strata sosialnya, dan berdampak pada kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Namun seperti tadi dikatakan bahwa konsep distinction ini bukan hanya untuk memunculkan cirri khas yang membedakan salah satu golongan atau kelompok sosial. Namun juga sebagai upaya perjuangan simbolik dari salah satu kelompok. Misalkan adanya aktivis feminisme di Amerika Serikat, yang terus berjuang menjunjung tinggi kesetaraan gender, dengan segala perjuangan sosial politiknya. Melakukan aktivitas – aktivitas yang berbeda dengan kebanyakan orang lainnya tak lepas hanya untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya.


Pierre Bourdieu tentang Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri[8]. Misalnya seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya.
Namun konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata.
Contoh yang bisa kita ambil kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai symbol kekuasaan di masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung rakyatnya, Sri Sultan sebagai symbol kekuasaan kerajaan sangat dikagumi dan diakui kharismanya oleh masyarakat. Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan sendirinya masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman, nyaman.
Mekanisme dominasi simbolik nantinya memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.



DAFTAR PUSTAKA

Andrew chtor.  A critical review of pierre bourdieus distinction a social critique of the judgement of taste. (online) diakses dari http://andrewchatora.wordpress.com/2010/03/26/a-critical-review-of-pierre-bourdieus-distinction-a-social-critique-of-the-judgement-of-taste/ tanggal 24 April 2013.

Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press.

Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.

Wattimena, Reza AA.  2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).



[2]Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.
[3]Ibid. hal : 16. Diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.
[4]Bourdieu. 1984. Hal : 170.
[5]Wattimena, Reza AA. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
[6] Ibid. hal : 23. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
[7]Andrew chtor.  A critical review of pierre bourdieus distinction a social critique of the judgement of taste. (online) diakses dari  http://andrewchatora.wordpress.com/2010/03/26/a-critical-review-of-pierre-bourdieus-distinction-a-social-critique-of-the-judgement-of-taste/ tanggal 24 April 2013.

[8] Wattimena, Reza AA.  2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).

Friday, May 20, 2016

Pengertian Orientalisme Edward Said

Pengertian Orientalisme Menurut Edward Said, Orientalisme Menurut Para Ahli, Teori Orientalisme, Perkembangan kajian orientalisme, Pandangan Edward Said tentang orientalis, hubungan islam dan orientalisme

Pengertian Orientalisme

Secara bahasa Orientalisme berasal dari bahasa latin Oriens yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan terbitnya matahari, arti ini bisa di asosiasikan dengan timur yang merupakan arah dimana matahari terbit. Secara pengertian cukup beragam, Orientalism dapat dikatakan sebagai studi yang membahas dan meneliti bahasa, masyarakat dan budaya, dari timur dekat dan timur jauh (Near and Far Estern). 

Menurut Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, di buku (ensiklopedi) tersebut dapat kita temukan entri kata Orientalism, disana dijelaskan bahwa Orientalism pada awalnya adalah studi keilmuan yang membahas pada teks-teks dari bahasa-bahasa Asia, Orientalism muncul di keilmuan Eropa pada abad 18 sampai sekitar abad 20. Salah satu tujuannya adalah sebagai satu studi kritik filologis terhadap teks-teks karya peradaban Asia, hal ini dimaksudkan untuk mengungkap sisi esensial bagaimana perabadan Asia terbentuk. 

Studi ini tidak hanya  Terbentuk karena dasar pengambangan keilmuan semata namun juga karena semangat ini kaum Eropa mempunyai keinginan untuk mempelakari budaya yang berada di dunia lain (Other World), beberapa hal yang menjadi kajian utama waktu itu adalah seni, sastra dan musik. 

Pengertian Orientalism yang kemudian menjadi bias dan dimaknai secara kuasa wacana adalah karena kemunculannya berbarengan dengan gerakan kolonialisasi barat pada negara-negara timur. 

Perkembangan Orientalisme

John M. MacKenzie dalam bahwa bukunya Orientalism : History, Theory and the Arts mengatakan bahwa perkembangan makna Orientalism hingga kemudian menuai makna negatif adalah tidak lepas dari perkembangan dunia ketiga yang bebas dari jajahan dunia barat. Independensi tersebut berdampak pada transformasi makna yang menganggap terdapat perselingkungan antara wacana kaum orientalis dengan kekuasaan barat waktu itu. Jadi timbulnya makna baru pada studi orientalism merupakan konteks wacana post-kolonial dan post-nationalist.

Orientalisme dalam Pandangan Edward Said

Adalah Edward Said yang pertama kali memaknai term Orientalisme sebagai konsep yang negatif, dalam bukunya yang berjudul Orientalisme (1987). Edward Said merupakan ilmuan Amerika kelahiran Palestina, yang sangat membela eksistensi Palestina, negara leluhurnya. Edward Said meninggal pada 25 September 2003, karena menderita penyakit leukemia dan kanker darah.

Said mengkombinasi dan mengadaptasi dua konstruk teori yang berkembang di abad dua puluh untuk re-evaluasi makna orientalism.  Dia mengambil konsep wacana Michel Foucoult, dimana aparatus bahasa dengan artikulasi pengetahuan menjadi satu ekspresi dari kekuasaan (power), wacana tersebut kemudian dihubungkan dengan pemikiran Antonio Gramci tentang kultural hegemoni dimana para elit mengontrol massa dibawahnya. 
Dengan menggunakan kerangka analisa tersebut, Said berhasil mentransformasi makna Orientalisme dari sebuah studi keilmuan yang dilakukan orang barat menjadi sebuah struktur pengetahuan yang dibentuk dan digunakan untuk kepentingan ideologi barat. Said kemudian menggunakan istilah knowledge is power, untuk menyatakan bahwa pengetahuan menjadi sarana untuk mencapai kekuasaan  

Islam dan Orientalisme 

Gagasan Said tentang bagaimana dunia Timur, dalam hal ini Arab dan Islam, diringkus dalam konstruksi yang statis oleh tradisi Orientalisme yang berkembang di Barat. Dalam Orientalisme, beroperasi suatu pengandaian bahwa seolah-olah telaah sarjana Barat atas dunia Timur itu adalah telaah yang lugu, obyektif, ilmiah, tanpa ada asumsi nonilmiah yang bekerja di dalamnya. Said, menunjukkan hal yang sebaliknya: dalam Orientalisme, beroperasi suatu kepentingan yang terselubung, yaitu penguasaan dan penaklukan oleh Barat atas dunia Timur. 

Muncul perdebatan yang dipicu oleh tesis utama Said dalam Orientalism bahwa telaah kaum orientalis Barat atas dunia Arab dan Islam sebetulnya bukanlah pekerjaan yang sepi ing pamrih, dan karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis", bukan ilmu murni. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk "menguasai" bangsa- bangsa di luar Barat. Pena para orientalis seolah-olah sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai pemerintah kolonial-mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain. 

Thursday, May 19, 2016

Pemikiran Politik Hegel Tentang Negara

Negara merupakan roh absolut (Great Spirit atau Absolut Idea) jadi negara bersifat absolut yang dimensi kekuasaannya melampaui hak-hak transendental individu. Gagasan Hegel mengenai Roh Absolut dipengaruhi oleh pemikiran kristiani (protestanisme), yaitu mengenai roh kudus dalam doktrin trinitas. Juga, mensakralkan negara dan menganggapnya sebagai ‘derap langkah Tuhan’ di bumi. Sehingga, bahwa pemegang kekuasaan merupakan pemegang veto atas pribadi-pribadi dan menjelma menjadi pemegang kemauan umum – mirip dengan konsep Rosseau ‘perwujudan kemauan kolektif’ (general will)

Pemikiran Politik Hegel, Konsep Negara menurut Hegel, Pemikiran Politik Barat,


Hegel mengakui adanya sistem parlementer akan tetapi tidak mengikat karena kekuasaan kepala negara bersifat mutlak. Hegel berpendapat bahwa negara bukanlah alat kekuasaan, akan tetapi negara merupakan tujuan itu sendiri. (bukan negara yang mengabdi kepada negara namun sebaliknya Negara mengabdi kepada kepentingan umum)

Negara bersifat unik karena ia memiliki logika yang membedakannya dengan organ politik yang lainnya. Bisa saja negara kemudian membatasi kebebasan individu dengan asumsi bahwa individu tidak memiliki makna dalam totalitas negara, sehingga sangat tidak dimungkinkan individu bisa menjadi kekuatan oposisi yang melawan negara. Hal tersebut bukan berarti Hegel tidak mengakui adanya kebebasan individu, namun menurutnya kebebasan tidaklah harus selalu berkonotasi demokrasi.

Hampir mirip dengan pemikiran Machiavelli dan Hobbes yang menganggap manusia memiliki watak kebinatangan ‘manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya’ jadi kebebasan manusia harus dibatasi. Seandainya pun manusia diberi kebebasan haruh berada di bawah kontrol kekuasaan.

Hegel menganut prinsip keharmonisan sosial Social Equilibrium (keseimbangan  sosial), ada keselarasan aspirasi individu dengan aspirasi sosial. Tidak boleh ada kontradiksi antara kepentingan individu dengan etika dan tatanan sosial. Hanya manusia yang bermoral tinggi saja yang akan mampu mengaktualisasikan kebebasan sebagai suatu realitas sosial.

Pemikiran Hegel tentang negara mengundang interpretasi yang berbeda dari berbagai kalangan. Ada kelompok yang menganggap pemikiran Hegel tentang negara inilah yang mengilhami lahirnya negara Totaliter, sementara kelompok lain menganggap pemikiran Hegel tentang negara memberi acuan bagiberkembangnya negara liberal dan sosialis yang mewamai konsep negara modern.

Dalam tulisannya “The Philosopphy of Right” Hegel berpendapat bahwa Negara bagi Hegel adalah suatu organisme yang mengaktualkan Ide etis dan pikiran objektif diatas bumi. Kesimpulan ini didasari oleh pandangan Hegel yang mengatakan, kedua alam (dari keduniaan dan alam kebenaran) ini berada pada posisi yang berbeda, tetapi keduanya berakar pada satu kesatuan yang tunggal, Ide.

Tuesday, March 29, 2016

Konsep Public Sphere menurut Jurgen Habermas

Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum.



Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula pejabat atau politikus.

Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal.

Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang praktis, tepatnya culturally-embedded social practice.

Habermas mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan diperdebatkan.

Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya. Ruang publik seperti ini menurut Garnahm, bertujuan membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan gereja maupun negara.

Bagaimanapun banyak dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin berbeda dalam ukuran dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka, puncak perdebatan mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya mengorganisasikan diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus menerus, sebab itu mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum (Jurgen Habermas :1993).