Showing posts with label agama. Show all posts
Showing posts with label agama. Show all posts

Friday, June 9, 2017

Makalah Pengertian Husnuzan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hubungan baik antara manusia yang satu dengan yang lain, dan khususnya antara muslim yang satu dengan muslim lainnya merupakan sesuatu yang harus diupayakan dengan sebaik-baiknya. 
Hal ini karena Allah SWT telah menggariskan bahwa mu’min itu bersaudara (QS 49: 10). Oleh sebab itulah segala bentuk sikap dan sifat yang akan memperkokoh dan memantapkan persaudaraan harus ditumbuhkan dan dipelihara, sedangkan segala bentuk sikap dan sifat yang dapat merusak ukhuwah harus dihilangkan. Dan agar hubungan ukhuwah islamiyah itu tetap terjalin dengan baik, salah satu sifat positif yang harus dipenuhi adalah husnuzh zhan (berbaik sangka). 
Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan informasi negatif tentang sesuatu yang terkait dengan pribadi seseorang apalagi seorang muslim, maka kita harus melakukan tabayyun (pengecekan) terlebih dahulu sebelum mempercayai apalagi meresponnya secara negatif, Allah SWT berfirman yang artinya: 
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6). 

B.     FADHILAH DAN MANFAAT 
Ada banyak nilai dan manfaat yang diperoleh seorang muslim bila dia memiliki sifat husnuzh zhan kepada orang lain. 
Pertama Hubungan persahabatan dan persaudaraan menjadi lebih baik, hal ini karena berbaik sangka dalam hubungan sesama muslim akan menghindari terjadinya keretakan hubungan. Bahkan keharmonisan hubungan akan semakin terasa karena tidak ada kendala-kendala psikologis yang menghambat hubungan itu. 
Kedua Terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama. Karena buruk sangka akan membuat seseorang menimpakan keburukan kepada orang lain tanpa bukti yang benar, sebagaimana difirman Allah dalam Al-Qur'an (49: 6) di atas. 
Ketiga Selalu berbahagia atas segala kemajuan yang dicapai orang lain, meskipun kita sendiri belum bisa mencapainya.
BAB II
PEMBAHASAN
HUSNUZAN
A.PENGERTIAN PERILAKU HUSNUZAN
Husnuzan artinya berbaik sangka, lawan katanya adalah suuzan yang artinya berburuk sangka. Berbaik sangka dan berburuk sangka merupakan bisikan jiwa, yang dapat diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Perilaku husnuzan termasuk akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian.
Sungguh tepat jika Allah SWT dan rasul-Nya melarang perilaku buruk sangka. Sesuai dengan firman-Nya padasurat Al-Hujurat ayat 49 yang artinya:
“Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedusta-dusta pembicaraan (yakni jaukan dirimu dari sesorang berdasarkan sangkaan saja).” (H.R BUKHARI DAN MUSLIM)

B. CONTOH-CONTOH PERILAKU HUSNUZAN
  1. Husnuzan tehadap Allah SWT
Husnuzan terhadap Allah SWT artinya berbaik sangka pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta dan segala isinya yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan.
Husnuzan terhadap Allah SWT merupakan sikap mental dan termasuk salah satu tanda beriman kepada-Nya.
Di antara sikap perlaku terpuji, yang akan dilakukan oleh orang yang berbaik sangka pada Allah SWT ialah syukur dan sabar.
  1. Syukur
Menurut pengertian bahasa, kata syukur berasal bahasa Arab, yang artinya terima kasih. Menurut istilah, syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWTdan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia-Nya, melalui ucapan, sikap, dan perbuatan.
Nikmat karunia Allah SWT sangat banyak dan bermacam-macam. Ada nikmat yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, dan ada pula yang berasal dai luar diri manusia, ada nkmat yang besifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani.
·         Nikmat karunia Allah yang bersifat jasmani dan terdapat dalam diri manusia, seperti pancaindra, bentuk, dan susunan tubuh manusia yang lebih sempuna dari hewan sehingga manusia bisa berlari cepat seperti kijang, memanjat seperti kera, dan berenang seperti ikan. Sungguh tepat apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an:
·         Nikmat Allah yang bersifat rohani, sebagai anugerah Allah SWT yang tidak ternilai harganya, antara lain roh, akal, kalbu, dan nafsu.
·         Demikian juga nikmat-nikmat karunia Allah SWT yang terdapat di luar diri manusia sungguh sangat banyak dan tidak ternilai harganya. Nikmat-nikmat misalnya air, api, berbagai jenis makanan dan buah-buahan, aneka macam barang tambang, daratan, lautan, dan angkasa raya. Itu semua memang disediakan Allah SWT untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
·         Jika umat manusia menghitung-hitung nikmat karunia Allah SWT, tentu tidak akan mampu menghitungnya (lihat dan pelajari Q.S Ibrahim, 14: 34 dan Q.S Al-Baqarah, 2: 152).
·         Cara bersyukur kepada Allah SWT ialah dengan menggunakan segala nikmat karunia Allah SWT untuk hal-hal yang diridai-Nya, yaitu:
·         Bersyukur dengan hati ialah mengakui dan menyadar bahwa segala nikmat yang diperoleh manusia, merupakan karuni Allah SWT semata dan tidak ada selain Allah SWT yang dapat memberikan nikmat-nkmat itu.
·         Bersyukur dengan lidah seperti membacaAlhamdulillah (segala puji bagi Allah), mengucapkan lafal-lafal zkir lannya, membaca Al-Qur’an, dan melaksanakan akmar makuf nahi mungkar.
·         Bersyukur dengan amal perbuatan, misalnya mengerjakan salat, menunaikan ibadah haji jika mampu, berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik pada sesama manusia.
·         Bersyukur dengan harta benda, misalnya dengan jalan membelanjakan harta benda itu untuk hal-hal yang bemanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
  1. Sabar
Manusia dalam hidupnya di dunia ini silih berganti berada dalam dua situasi, yaitu situasi yang senang karena memperoleh nikmat dan situasi sedih atau susah karena mengalami musibah. Apabila manusia itu berada dalam situasi senang hendaknya ia bersyukur, dan bila berada dalam situasi susah hendaklah ia bersabar.
Setiap Muslim/Muslimah yang beprasangka baik pada Allah SWT, apabila dikenai suatu musibah seperti sakit, bencana alam dan gagal dalam suatu usaha, tentu akan bersabar. Ia tidak akan gelisah dan berkeluh kesah apalagi beputus asa, karena ia menyadari bahwa musibah-musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT. (Lihat dan pelajari Q.S. Al-Baqarah, 2: 155-157 dan Q.S. Yusuf, 12: 87!)
Seseorang dianggap suuzan terhadap Allah SWT, misalnya tatkala ia mengalami kegagalan dalam suatu usaha, ia menduga Allahlah penyebab kegagalannya, Allah mendengar doanya, Allah itu kikir, Allah tidak adil, dan lain-lain dugaan yang negatif terhadap Allah SWT. Padahal Allah SWT itu Maha Mendengar, Mahadermawan, Mahaadil. Allah SWT tidak menyuruh hamba-Nya untu gagal dalam suatu usaha. Oleh karena itu, jika seseorang gagal dalam suatu usaha, ia tidak boleh menyalahkan Allah SWT. Ia harus mengntrospeksi diri, mungkin kegagalan itu karena usahanya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Kegagalan dalam suatu usaha, hendaknya dijadikan pelajaran, agar pada masa mendatang tidak mengalami hal serupa.

2. Husnuzan terhadap Diri Sendiri
Perilaku terpuji terhadap diri sendiri yaitu percaya diri, gigih dan
berinisiatif.
a. Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap Muslim/Muslimah karena seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan berani pula melakukan suatu tindakan. Muslim/Muslimah yang berilmu pengetahuan tinggi dan memiliki keterampilan yang bermanfaat apabila ia percaya diri, tentu ia akan memperoleh keberhasilan dalam hidup.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan apabila tidak percaya diri tentu akan memperoleh kerugian dan mungkin bencana. Muslim/Muslimah yang percaya diri akan melaksanakan kewajiban terhadap dirinya sendiri, misalnya menjaga kesehatan jasmani dan rohani serta memelihara diri agar tidak dikenai suatu bencana.
b. Gigih
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa katagigih bahasa Minangkabau yang artinya berkeras hati, tabah, dan rajin. Gigih juga dapat diartikan bersungguh-sungguh dalam meraih sesuatu. Sikap dan perilaku gigihdalam meraih yang positif termasuk sikap mahmudah (sikap terpuji) dan akhlakul karimah. Setiap muslim dan muslimah wajib memiliki sikap gigih. Sikap gigih hendaknya diterapkan dalam kehidupan antara lain dalam hal berikut:
1) Ibadah
2) Menuntut ilmu
Ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan tentang agama Islam (‘ilm hal) dan ilmu pengetahuan umum (‘ilm gairu hal). Ilmu pengetahuan tentang agama Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia.
Ilmu pengetahuan umum bertujuan agar umat manusia dapat memanfaatkan, menggali, dan mengolah kekayaan alam, baik yang ada di darat dan di laut maupun yang ada di angkasa raya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Kebaikan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat beserta ilmu dan keburukan/bencana di dunia dan di akhirat beserta kebodohan.”
(H.R Bukhari)
3) Bekerja mencari rezeki yang halal
Bekerja mencari rezeki yang halal dapat dilakukan melalui berbagai bidang usaha, misalnya pertanian, peternakan, dan perdagangan. Bekerja dalam bidang apa pun hendaknya dilakukan dengan gigih dan sungguh-sungguh dengan dilandasi niat ikhlas karena Allah SWT, untuk memperoleh rida dan rahmat-Nya. Dengan cara seperti itu maka akan diperoleh hasil kerja yang optimal. Islam melarang umat-Nya bermalas-malasan dan menjadi beban orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap Muslim.”
(H.R. Tabrani)
4) Berinisiatif
Kata inisiatif berasal dari bahasa Belanda yang berarti prakarsa atau langkah pertama. Inisiatif juga berarti berbuat yang sifatnya produktif ( memiliki etos kerja yang tinggi) dan tidak tergantung kepada orang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki etos kerja yang tingi. Seseorang yang memiliki inisiatif disebut inisiator.
Inisiatif dalam hal positif merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap orang muslim dan muslimah. Muslim/Muslimah yang berprasangka baik terhadap dirinya, tentu akan berkeyakinan bahwa dirinya mampu berinisiatif yang positif dalam bidang yang ditekuninya dan sesuai dengan keahliannya.
Firman Allah swt:
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(Q.S. An Najm[53]: 39
3. Husnuzan terhadap sesama Manusia
Husnuzan merupakan sikap mental terpuji, yang mendiring pemiliknya untuk bersikap, bertutur kata, dan berbuat yang baik dan bermanfaat.
Perwujudan dari husnuzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga dan bermasyarakat.
  1. Kehidupan berkeluarga
Untuk mewujudkan rumah tangga yang memperoleh rida dan rahmat Allah swt , bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
Ø Pasangan suami-istri hendaknya saling berprasangka baik dan tidak saling curiga, saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Ø Hubungan anak-anak dan orang tua dilandasi dengan prasangka baik dan saling pengertian.
Ø Anak-anak berbakti dan menyenangkan hati orang tua.
Ø Orang tua memberi kepercayaan diri pada anak agar anak bisa mengembangkan diri dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
  1. Kehidupan bertetangga
Ø Saling menghormati dan menghargai, baik secara sikap, ucapan lisan dan perbuatan. Menghormati tetangga merupakan tanda-tanda dari manusia beriman:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya menghormati tetangganya.” (H.R. Muslim)
Ø Berbuat baik pada tetangga dengan cara melakukan kewajiban terhadap tetangga dan perbuatan lainnya yang bermanfaat.
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya.”(H.R. Muslim)
  1. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Tujuan dari berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, adil dan makmur, dibawah ampunan dari ridha Allah SWT. Hal ini bisa ditempuh dengan saling berprasangka baik dan berperilaku terpuji.
1) Generasi tua menyayangi generasi muda, yaitu dengan membimbing mereka agar kualitas hidupnya dalam berbagai bidang positif melebihi generasi tua. Generasi muda hendaknya menghormati yang tua dengan bersikap, berkata dan berperilaku yang bermanfaat.
“Bukan dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)
2) Saling tolong-menolong dalam kebaikan serta ketakwaan dan jangan saling menolong dalam dosa serta pelanggaran. (lihat Q.S. Al-Maidah, 5: 2)
· Pemerintah dan rakyat dari golongan mampu saling bekerja sama untuk mengetaskan kemiskinan.
· Pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam memberantas kejahatan dan kemungkaran yang terjadi di lingkungan masyarakat.

C.MEMBIASAKAN DIRI BERLAKU HUSNUZAN
Setiap Muslim/Muslimah, hendaknya membiasakn diri dengan berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama manusia.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap Allah SWT, tentu akan senantiasa bertakwa kepadanya, di mana pun dan kapan pun dia berada.Ia akan selalu bersyukur pada Allah SWT bila berada dalam situasi yang menyenangkan dan akan senantiasa bersabar bila berada dalam keadaan yang menyusahkan.
Seorang Muslim/Muslimah yang berperilaku husnuzan terhadap dirinya sendiri, tentu akan membiasakan diri dengan bersikap dan berperilaku terpuji yang bermanfaat bagi dirinya, seperti percaya diri, gigih, dan banyak berinisiatif yang positif.
Demikian juga, setiap Muslim/Muslimah hendaknya membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan terhadap manusia,baik dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Insya Allah, jika setiap Muslim/Muslimah dan setiap anggota masyarakat, telag membiasakan diri untuk berperilaku husnuzan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan memperoleh kebaikan-kebaikan yang banyak.
BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Husnuzan artinya berbaik sangka, lawan katanya adalah suuzan yang artinya berburuk sangka. Berbaik sangka dan berburuk sangka merupakan bisikan jiwa, yang dapat diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Perilaku husnuzan termasuk akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian.
Husnuzan terhadap Allah SWT artinya berbaik sangka pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta dan segala isinya yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan.
Menurut pengertian bahasa, kata syukur berasal bahasa Arab, yang artinya terima kasih. Menurut istilah, syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWTdan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia-Nya, melalui ucapan, sikap, dan perbuatan.
Nikmat karunia Allah SWT sangat banyak dan bermacam-macam. Ada nikmat yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, dan ada pula yang berasal dai luar diri manusia, ada nkmat yang besifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani.
Ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan tentang agama Islam (‘ilm hal) dan ilmu pengetahuan umum (‘ilm gairu hal). Ilmu pengetahuan tentang agama Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia.
Kata inisiatif berasal dari bahasa Belanda yang berarti prakarsa atau langkah pertama. Inisiatif juga berarti berbuat yang sifatnya produktif ( memiliki etos kerja yang tinggi) dan tidak tergantung kepada orang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki etos kerja yang tingi. Seseorang yang memiliki inisiatif disebut inisiator.
DAFTAR PUSTAKA

  • http://aljaami.wordpress.com/2011/03/25/husnuzhan-berbaik-sangka/
  • http://artikelkita.blogspot.com/2005/02/sebelum-su-uzhan-habisin-dulu.html
  • http://hbis.wordpress.com/2008/12/04/husnuzhzhanprasangka-positif/
  • http://jumudin.blogspot.com/2008/12/pendidikan-agama.html
  • http://id.scribd.com/doc/47337331/Contoh-contoh-Perilaku-Husnuzan
  • http://uginkosalihya.wordpress.com/category/membiasakan-perilaku-terpuji/
  • http://www.duniaremaja.net/catatan/pengertian-perilaku-husnuzhan.html
  • http://www.duniaremaja.net/catatan/pengertian-perilaku-husnuzhan-menurut-ensiklopedia.html
  • http://hartonosmandagpai.blogspot.com/2011/10/sifat-terpuji-kls-x.html

Makalah Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hambali

KATA PENGANTAR


Pertama dan utama adalah penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, serta selawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW karena dengan berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hambali”.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kata pengantar ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengasuh mata kuliah yang telah memberikan petunjuk, arahan, bimbingan dan dukungan mulai dari awal penulisan sampai dengan selesainya penulisan ini.
Penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Makalah ini di masa yang akan datang.
 Akhirnya semoga jasa dan amal baik yang telah disumbangkan penulis serahkan kepada Allah SWT untuk membalasnya. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan pendidik kearah yang lebih baik.
Amin ya rabbal a’lamin.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Keadaan masyarakat Bangsa Arab pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama tentang pemikiran Islam akan hukum. Hal ini sangat berbeda sekali dengan keadaan masyarakat Bangsa Arab pada masa Rasulullah SAW, karena tongkat kekuasaan dan wewenang ada ditangan Rasulullah SAW sendiri. Di masa sahabat mulai timbul beberapa perbedaan paham dalam menetapkan hukum.
            Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu karena adanya perbedaan paham dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka. Karena pengetahuan mereka dalam soal hadist tidak sama dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum , di samping itu juga adalah karena berlainan tempat (lingkungan).
            Hal yang tersebut ini menimbulkan perselisihan fatwa dan hukum wlaupun mereka sependirian. Kemudian timbullah mazhab dalam hal fiqih sesudah kekuasaan dikendalikan para mujtahidin di pertengahan abad kedua hijrah. Pada masa itu ada empat pemuka madzhab yang terkenal yaitu :
1.      Abu Hanifah (Imam Hanafi)
2.      Maliki (Imam Maliki)
3.      Asy Syafi’I (Imam Syafi’i)
4.      Ahmad ibn Hanbal (Imam Hambali)
            Demikianlah terbentuk madzhab fiqih, yang kemudian dibangsakan kepada mujtahidin yang menjadi imamnya pada mazhab masing-masing.

B.     Rumusan Maslah
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini adalah, bagaimanakah pemikiran hukum Islam menurut Mazhab Imam Hambali?

= = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = 
BAB II
PEMBAHASAN

            Ahmad ibn Hanbal (Imam Hambali) menyibukkan diri sebagai seorang yang Ahli Hadist (tradisionalis), para ahli theology menyetujui bahwa Imam Hambali sebagai Ahli Hadist. Adapun hasil pemikirannya tentang hukum Islam mengenai ilmu fiqih adalah sebagai berikut:

A.    Najis dan bersuci
            Menurut mazhab Imam Hambali tentang bersuci, Imam Hambali berpendapat bahwa: “Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air”. Dari pendapat Imam Hambali tersebut, kami dapat memberi sebuah pendapat bahwa yang dimaksudkan oleh Imam Hambali adalah najis tidak akan dikatakan hilang apabila belum dibasuh dengan air. Namun air yang seperti apa? Apakah bisa dengan sembarang air atau bagaimana? Itulah pertanyaan yang timbul ketika kami berfikir tentang pendapat Imam Hambali mengenai bersuci.
            Kemudian ada sebuah pendapat Imam Hambali kembali mengenai bersuci, “Air tersebut tidak dapat dipergunakan untuk bersuci”. Pernyataan inilah yang seakan membuat kami menjadi bertanya-tanya, air seperti apakah yang dimaksudkan? Maka kami dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Imam Hambali ialah air yang mampu untuk bersuci harus memiliki syarat mutlak yaitu air yang suci sekaligus mensucikan. Artinya banyak sekali jenis air yang suci namun belum tentu mensucikan.

B.     Wudlu
      Ada beberapa pendapat Imam Hambali mengenai Wudlu, antara lain:
§  Membaca Basmalah ketika wudlu adalah wajib.
§  Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung adalah sunnah di dalam wudlu serta mandi.
§  Wajib mengusap seluruh kepala.
§  Disunnahkan mengusap kepala dengan sekali sapu.
§  Kedua telinga termasuk bagian kepala. oleh karena itu, disunnahkan mengusap keduanya ketika mengusap kepala.
§  Sunnah mengusap kepala serta telinga dengan sekali usap.
§  Boleh mengusap kedua kaki, boleh juga memilih antara membasuh dan mengusap seluruh kaki.
§  Tertib di dalam wudlu itu wajib.
            Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut, kami dapat memberi pendapat bahwa dalam hal wudlu ataupun rukun wudlu itulah yang sekarang ini dianut oleh kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia. Namun ada sebuah kekurangan atas pendapat Imam Hambali dalam hal wudlu yang sebenarnya wajib dilakukan dalam rukun wudlu yaitu mengenai membasuh wajah atau muka.

C.    Tayamum
            Menurut Imam Hambali mengenai Tayamum, ada beberapa pendapat yang dikemukakan yaitu antara lain:
§  Tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir yang berdebu.
§  Mengusap sampai ke siku adalah mustahab (sunnah), sedangkan sampai ke pergelangan tangan adalah wajib.
§  Tayamum akan batal secara mutlak jika telah menemukan air.
§  Tidak boleh mengerjakan dua sholat fardu dengan satu tayamum, baik bagi orang mukmin ataupun musyafir.
            Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Tayamum, maka kami berpendapat bahwa tata cara bertayamum serta hal yang membatalkan tayamum sudah sejalan dengan dasar hukum Islam yaitu Al-qur’an. Namun seperti halnya pendapat Imam Hambali mengenai wudlu, dalam tayamum ini pun sama. Masih ada sebuah kekurangan tentang mengusap wajah atau muka.
            Disamping itu, kami berpendapat mengenai tayamum yang tidak boleh mengerjakan dua waktu sholat fardu dengan satu tayamum. Artinya ialah hanya satu waktu sholat saja untuk satu tayamum,apabila untuk melaksanakan sholat fardu berikutnya harus melakukan tayamum kembali.

D.    Sholat
      Imam Hambali berpendapat mengenai Sholat antara lain:
§  Menutup aurat termasuk syarat-syarat sholat.
§  Mengangkat kedua tangan pada waktu takbirotul ikhrom ada tiga pendapat, yaitu sejajar bahu, sejajar telinga dan boleh memilih diantara keduanya.
§  Bersedekap dengan meletakkan kedua tangan dibawah pusar.
§  Wajib membaca Surat Al fatihah pada setiap roka’at sholat.
            Berdasarkan pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Sholat, kami berpendapat bahwa dalam sholat seorang Muslim atau muslimat wajib menutup anggota tubuh mereka yang sebagai daerah terlarang untuk diperlihatkan (aurat),karena dari segi moral bertujuan untuk menjaga kesopanan dan harga diri seseorang.
            Mengenai mengangkat tangan saat takbirotul ikhrom sebagian orang ada yang sejajar bahu, Namun ada pula yang melakukannya sejajar telinga. Kedua hal tersebut sah untuk dilakukan, akan tetapi lebih baik dilakukan dengan sejajar bahu. Karena sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW. Begitu pula dengan tata cara bersedekap, lebih baik diletakkan diatas pusar atau lebih tepatnya di ulu hati.
            Selain itu mengenai wajibnya membaca suratAl fatihah itu sangat diharuskan, karena itu termasuk rukun dan syarat sahnya sholat. Jika hal itu tidak dilakukan maka sholat yang dilakukan dapat dikatakan sia-sia.

E.     Zakat
            Mengenai membayar zakat, Imam Hambali berpendapat bahwa “Jika seseorang memiliki barang sampai nisab, maka ia harus mengeluarkan zakatnya”. Artinya bahwa seseorang yang memiliki harta atau kekayaan yang sudah mencapai nisab (berat timbangan) sesuai dengan hukum Islam. Maka diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Hal ini bertujuan agar kita belajar untuk saling berbagi dengan sesama, karena semua hal yang kita punya adalah titipan yang sifatnya sementara.

F.     Puasa
      Menurut Imam Hambali mengenai puasa, ada beberapa pendapat diantaranya:
§  Waktu niat dalam berpuasa Ramadhan antara terbenam matahari hingga waktu fajar kedua (fajar sadiq).
§  Puasa dikatakan batal jika melakukan persetubuhan, namun jika makan tidak dikatakan batal.
            Dari beberapa pendapat Imam Hambali mengenai puasa, kami dapat memberikan pendapat bahwa dalam melakukan niat puasa di bulan Ramadhan itu pada waktu tenggelam matahari, lebih tepatnya setelah kita usai mengerjakan sholat tarawih hingga sebelum terbit fajar. Niat tersebut bias saja di dalam hati ataupun diucapkan, karena untuk lebih meyakinkan serta memantapkan akan apa yang akan dilakukan termasuk niat berpuasa.
            Pendapat Imam Hambali mengenai batalnya puasa jika bersetubuh, namun jika makan puasa itu tidak batal. Imam Hambali berpendapat demikian dengan catatan bahwa ada unsur paksaan. Namun seperti yang kita tahu bahwa puasa ialah menahan lapar dan dahaga serta hawa nafsu dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Menurut kami atas dasar pengertian puasa tersebut, bagaimana pun keadaannya. jika kita makan maka puasa pada saat itu juga dapat dikatakan batal.

G.    Haji
            Imam hambali dalam pendapatnya mengenai Haji yaitu “Wajib dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda jika sudah berkewajiban”. Dari pendapat Imam Hambali, kami dapat memberikan pendapat bahwa yang dimaksud berkewajiban ialah seseorang yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji. Baik secara material (harta) maupun spiritual (mental).
            Seperti yang terkandung dalam rukun Islam yang kelima, Menunaikan ibadah haji bila mampu. Jika seseorang tersebut telah mampu secara fisik maupun mental, memiliki harta yang cukup, serta sudah mubaligh (dewasa). Maka diharuskan untuk melaksanakan ibadah haji tersebut dan tidak boleh menundanya lagi.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = = = = = = =

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Masyarakat Bangsa Arab pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama tentang pemikiran Islam akan hukum. Hal ini sangat berbeda sekali dengan keadaan masyarakat Bangsa Arab pada masa Rasulullah SAW, karena tongkat kekuasaan dan wewenang ada di tangan Rasulullah SAW sendiri. Di masa sahabat mulai timbul beberapa perbedaan paham dalam menetapkan hukum.
            Atas dasar perselisihan tersebut maka timbullah mazhab dengan imamnya masing-masing yang termasuk diantaranya ialah mazhab Imam Hambali. Dalam pemikiran Islam Imam Hambali terdapat ketimpangan dengan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an. Namun ada pula yang sesuai dengan sumber hukum Islam tersebut.

B.     Saran
        Berdasarkan penjelasan pada pembahasan tersebut, kami selaku penyusun dapat memberikan saran bagi para pembaca sebagai berikut.
§  Hendaknya jika kita memperoleh sebuah persoalan tentang Islam, baik dari segi hukum, aqidah, ibadah, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh kepastian akan permasalahan tersebut, maka kita haruslah berdasar pada Al-Qur’an dan As-sunnah.
§  Apabila kita memperoleh sebuah informasi atau pendapat dari orang lain tentang Islam, jangan kita langsung menelan mentah-mentah. Artinya kita harus mencari tahu terlebih dahulu akan kebenarannya dengan dasar yang kuat yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.


DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Karen. 2002. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela.

Hassan, Ibrahim Hassan, 2009. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, 2007. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra




                [1]Hassan,Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2009), hal. 29.
                [2]Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Pengantar Ilmu Fiqih, (.Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hal. 49.
                [3] Ibid, hal. 55.
                [4] Ibid, hal. 59.
                [5] Ibid, hal. 67.
                [6]Armstrong, Karen,  Islam Sejarah Singkat. (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 125.