Saturday, December 12, 2015

Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Konsep Negara



Salah satu buah pemikiran politik dari Ibnu Taimiyah adalah konsepsinya tentang negara, berikut ini uraian tentang intisari konsepsi negara menurut Ibn Taimiyah. 

Pemikir-pemikir Muslim memandang masalah ini dalam bentuk yang berbeda-beda. Kaum Sunni menyatakan bahwa menegakkan negara (imamah) bukanlah salah satu asas dan praktik agama seperti yang diyakini oleh orang-orang Syi'ah. Menurut mereka, imamah adalah salah satu dari detail-detail (furu') yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang beriman, karena menurut pendapat mereka, kepada ummah diperintahkan untuk mengangkat seorang imam melalui al-sam' (tradisi). Yang dimaksud dengan al-sam', menurut Qomaruddin Khan, adalah al-Qur'an , sunnah dan ijma'.

Pandangan golongan Mu'tazilah sangat bertentangan dengan pandangan Sunni. Mu'tazilah berpendapat bahwa keharusan menegakkan imamah dapat dibuktikan oleh akal pikiran. Sementara golongan Syi'ah juga menolak akal pikiran karena dianggap tidak mencukupi. Mereka berpendapat bahwa imamah adalah "lutf" (berkah) Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Ibn Taimiyah sendiri lebih sependapat dengan Sunni. Ia menyatakan bahwa mengatur urusan-urusan umat termasuk kewajiban-kewajiban agama yang terpenting. Tetapi tidak berarti agama tidak bisa tegak tanpa adanya negara. Kepentingan manusia, menurutnya, tidak bisa terpenuhi kecuali dengan bergabung menjadi suatu masyarakat, mengumpulkan kepentingan satu sama lain. Ketika berkumpul maka harus ada pemimpin.

Ibn Taimiyah tidak mendasarkan pada metode ijma' sebagai alasan kewajiban mendirikan negara. Tetapi ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia (social welfare) dan melaksanakan syari'at Islam (iqamat al-Syari'ah al-Islamiyyah). Dengan demikian, sebetulnya Ibn Taimiyah tidak menganggap penting sistem khilafah. Menurutnya, institusi khilafah boleh ditiadakan, yang penting tujuan-tujuan positif bisa dicapai.

Sedemikian yakinnya Ibn Taimiyah terhadap keharusan otoritas negara sehingga ia mengatakan bahwa sesungguhnya raja adalah bayangan Allah di atas bumi, dan uangkapannya yang lain bahwa enam puluh tahun di bawah kekuasaan imam yang tiran itu lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam (chaos/vacuum of power). Agaknya dalam hal ini Ibn Taimiyah lebih suka menggunakan teori stabilitas.

Ibn Taimiyah tidak secara tegas merumuskan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dia hanya menyebutkan bahwa sebetulnya tidak terlalu penting membicarakan sistem pengangkatan kepala negara. Menurutnya, yang penting adalah bahwa orang yang menduduki jabatan itu harus benar-benar amanah dan adil. Karena pentingnya dua hal ini, sehingga di awal bukunya, al-Siyasah al-Syari'yah, ia secara khusus membahas doktrin amanah dan keadilan bagi mereka yang menduduki jabatan. Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal bagi kepala negara, yaitu memiliki kualifikasi kekuatan (al-quwwah) dan integritas (al-amanat).

Kekuatan dan integritas ini menurut Ibn Taimiyah diperoleh melalui cara mubaya'ah yang diberikan oleh ahl al-Syawkah yang efektif kepada raja/kepala negara. Ini berarti bahwa dukungan umat muncul sebagai akibat wajar dari bay'ah tersebut, bukan sebagai prosedur terpisah yang diperlukan itu sendiri. Mubaya'ah ini nantinya akan berfungsi menjadi semacam kontrak sosial yang mengikat antara raja/kepala negara dan rakyat. Sedangkan yang dimaksud ahl al-Syawkah sendiri menurut Ibn Taimiyah adalah semua orang, tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka, dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Barangkali pada zaman sekarang ini ahl al-Syawkah bisa ndisamakan dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Menurut Qomaruddin Khan hanya Ibn Taimiyahlah yang telah memberikan perspektif yang tepat kepada konsep syawkah ini. Ibn Taimiyah menolak teori tradisional mengenai kekhalifahan dan mengembangkan sebuah teori tersendiri mengenai negara. Konsep atau teori ini pada gilirannya nanti ditransformasikan oleh Ibnu Khaldun ke dalam teorinya yang terkenal mengenai 'asabiyah.

Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon penguasa atau kepala negara, namun apabila penguasa atau kepala negara yang ideal (memiliki kualifikasi kekuatan dan integritas) tidak bisa diperoleh, menurut Ibn Taimiyah harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan itu. Tetapi, menurutnya hal itu hanya bersifat sementara, dan bahwa setelah itu kaum Muslim harus berusaha memperbaiki keadaan mereka supaya dapat memenuhi ajaran-ajaran Islam.

Dalam hal penunjukan atau pengangkatan pembantu-pembantunya, Ibn Taimiyah berpendapat, bahwa seorang kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut, dan jangan karena terpengaruh faktor-faktor subjektif seperti hubungan kekeluargaan dan lain sebagainya.

Tampaknya Ibn Taimiyah memaknai kata amanah dalam dua pengertian. Pertama, amanah diartikan kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, amanah diartikan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh kepala negara.

Dengan persyaratan yang demikian, maka Ibn Taimiyah tidak mensyaratkan calon kepala negara harus dari suku Quraisy. Persyaratan ini (suku Quraisy) bertentangan dengan al-Qur'an yang mengakui persamaan derajat sesama manusia, meskipun ada hadis yang dijadikan landasan terhadap persyaratan suku Quraisy tersebut.

Tugas utama dan mendasar seorang kepala negara adalah menciptakan kemaslahatan bersama dalam wujud menjalankan amanah sebaik-baiknya dan menciptakan keadilan semaksimal mungkin. Dengan demikian, maka tujuan negara adalah 1) sebagai alat untuk menjalankan syari'at Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia sebaik-baiknya, 2) berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bersama secara hakiki, lahir dan batin seluruh rakyat, dan 3) merupakan lembaga yang harus bertanggung jawab dalam menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.

Ibn Taimiyah lebih cenderung kepada bentuk pemerintahan demokratis. Pendapatnya ini disimpulkan dari penolakannya terhadap sistem khilafah dan juga terhadap model Syi'ah (imamah). Hanya saja demokratis yang dikehendaki Ibn Taimiyah adalah demokratis konstitusional yang berlandaskan nilai-nilai syari'at. Model seperti ini, menurut Ibn Taimiyah, bisa merealisasikan nilai-nilai keadilan. Bukankah Allah mengirimkan utusan-utusan-Nya supaya kita bersikap adil baik berhubungan dengan hak-hak Allah maupun dengan hak-hak manusia sebagaimana firman-Nya:
…Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya rela mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak melihatnya.

Tesis pokok Ibn Taimiyah mengenai negara kenabian adalah bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang Nabi, bahwa segala aktifitasnya tercakup ke dalam fungsi kenabiannya, dan bahwa institusi imamah tidak berada di luar fungsi tersebut dan tidak pula merupakan rukun iman. Pada masa Nabi masih hidup imamah tidak diperlukan, konsep imamah muncul setelah wafatnya Nabi. Ibn Taimiyah memiliki alasan-alasan yang kuat untuk membedakan rejim nubuwwah dengan negara Islam yang lahir setelah Muhammad meninggal dunia. Seorang raja, menurutnya, kepatuhan rakyat kepadanya karena ia adalah seorang raja. Tetapi, kita tentu menyadari bahwa Muhammad harus dipatuhi bukan karena dia seorang kepala negara tetapi karena dia adalah Rasul Allah.

Sebenarnya inti tesis Ibn Taimiyah di atas dikarenakan pertama, penyangkalannya terhadap teori ilahiah mengenai imamah yang dikemukakan kaum Syi'ah, sedang ia tidak menyangkal fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad adalah seorang imam yang sejati. Kedua, menurutnya, kaum Muslimin tidak pernah mementingkan sesuatupun juga melebihi iman. Ketiga, bahwa detail-detail penataan negara tidak perlu disebutkan di dalam al-Qur'an. Negara, menurutnya, harus dinamis dan progresif di dalam sifat dan kondisinya.

Berkaitan dengan khilafah Nubuwwah, Ibn Taimiyah menyatakan bahwa perkataan khilafah, seperti terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah, tidak mengandung signifikansi religius dan politik. Mengenai empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibn Taimiyah lebih suka menyebtunya sebagai khalifah an-Nubuwwah.



Menurut penulis persoalan apakah perkataan khilafah di dalam al-Qur'an maupun hadits mengandung signifikansi religius dan politik atau tidak memang masih menjadi perdebatan, bahkan kalau Ibn Taimiyah telah secara tegas menyatakan tidak. Tetapi bahwa khilafah itu pernah ada dalam sejarah perpolitikan Islam terlepas dari sebutan yang digunakan sebagai penggantinya juga merupakan sesuatu yang tidak bisa terbantahkan dan hal ini juga diakui oleh Ibn Taimiyah. Menurutnya khilafah pernah ada di dalam sejarah sebagai sebuah institusi politik.

1 comments so far

Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon