Salah satu buah pemikiran politik dari Ibnu Taimiyah adalah konsepsinya tentang negara, berikut ini uraian tentang intisari konsepsi negara menurut Ibn Taimiyah.
Pemikir-pemikir
Muslim memandang masalah ini dalam bentuk yang berbeda-beda. Kaum Sunni
menyatakan bahwa menegakkan negara (imamah) bukanlah salah satu asas dan
praktik agama seperti yang diyakini oleh orang-orang Syi'ah. Menurut mereka, imamah
adalah salah satu dari detail-detail (furu') yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang beriman, karena menurut pendapat mereka, kepada ummah
diperintahkan untuk mengangkat seorang imam melalui al-sam' (tradisi).
Yang dimaksud dengan al-sam', menurut Qomaruddin Khan, adalah al-Qur'an
, sunnah dan ijma'.
Pandangan golongan
Mu'tazilah sangat bertentangan dengan pandangan Sunni. Mu'tazilah berpendapat
bahwa keharusan menegakkan imamah dapat dibuktikan oleh akal pikiran.
Sementara golongan Syi'ah juga menolak akal pikiran karena dianggap tidak
mencukupi. Mereka berpendapat bahwa imamah adalah "lutf"
(berkah) Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Ibn Taimiyah sendiri
lebih sependapat dengan Sunni. Ia menyatakan bahwa mengatur urusan-urusan umat
termasuk kewajiban-kewajiban agama yang terpenting. Tetapi tidak berarti agama
tidak bisa tegak tanpa adanya negara. Kepentingan manusia, menurutnya, tidak
bisa terpenuhi kecuali dengan bergabung menjadi suatu masyarakat, mengumpulkan
kepentingan satu sama lain. Ketika berkumpul maka harus ada pemimpin.
Ibn Taimiyah tidak
mendasarkan pada metode ijma' sebagai alasan kewajiban mendirikan negara.
Tetapi ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia (social
welfare) dan melaksanakan syari'at Islam (iqamat al-Syari'ah
al-Islamiyyah). Dengan demikian, sebetulnya Ibn Taimiyah tidak menganggap
penting sistem khilafah. Menurutnya, institusi khilafah boleh
ditiadakan, yang penting tujuan-tujuan positif bisa dicapai.
Sedemikian yakinnya
Ibn Taimiyah terhadap keharusan otoritas negara sehingga ia mengatakan bahwa
sesungguhnya raja adalah bayangan Allah di atas bumi, dan uangkapannya yang
lain bahwa enam puluh tahun di bawah kekuasaan imam yang tiran itu lebih baik
daripada satu malam tanpa seorang imam (chaos/vacuum of power). Agaknya
dalam hal ini Ibn Taimiyah lebih suka menggunakan teori stabilitas.
Ibn Taimiyah tidak
secara tegas merumuskan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dia hanya
menyebutkan bahwa sebetulnya tidak terlalu penting membicarakan sistem
pengangkatan kepala negara. Menurutnya, yang penting adalah bahwa orang yang
menduduki jabatan itu harus benar-benar amanah dan adil. Karena pentingnya dua
hal ini, sehingga di awal bukunya, al-Siyasah al-Syari'yah, ia secara
khusus membahas doktrin amanah dan keadilan bagi mereka yang menduduki jabatan.
Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal bagi kepala negara, yaitu memiliki
kualifikasi kekuatan (al-quwwah) dan integritas (al-amanat).
Kekuatan dan
integritas ini menurut Ibn Taimiyah diperoleh melalui cara mubaya'ah
yang diberikan oleh ahl al-Syawkah yang efektif kepada raja/kepala
negara. Ini berarti bahwa dukungan umat muncul sebagai akibat wajar dari bay'ah
tersebut, bukan sebagai prosedur terpisah yang diperlukan itu sendiri. Mubaya'ah
ini nantinya akan berfungsi menjadi semacam kontrak sosial yang mengikat antara
raja/kepala negara dan rakyat. Sedangkan yang dimaksud ahl al-Syawkah
sendiri menurut Ibn Taimiyah adalah semua orang, tanpa memandang profesi dan
kedudukan mereka, dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Barangkali pada zaman
sekarang ini ahl al-Syawkah bisa ndisamakan dengan DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat).
Menurut Qomaruddin
Khan hanya Ibn Taimiyahlah yang telah memberikan perspektif yang tepat kepada
konsep syawkah ini. Ibn Taimiyah menolak teori tradisional mengenai
kekhalifahan dan mengembangkan sebuah teori tersendiri mengenai negara. Konsep
atau teori ini pada gilirannya nanti ditransformasikan oleh Ibnu Khaldun ke
dalam teorinya yang terkenal mengenai 'asabiyah.
Meskipun Ibn
Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon penguasa atau kepala negara, namun
apabila penguasa atau kepala negara yang ideal (memiliki kualifikasi kekuatan
dan integritas) tidak bisa diperoleh, menurut Ibn Taimiyah harus diangkat orang
yang paling sesuai untuk pekerjaan itu. Tetapi, menurutnya hal itu hanya
bersifat sementara, dan bahwa setelah itu kaum Muslim harus berusaha
memperbaiki keadaan mereka supaya dapat memenuhi ajaran-ajaran Islam.
Dalam hal penunjukan
atau pengangkatan pembantu-pembantunya, Ibn Taimiyah berpendapat, bahwa seorang
kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif
betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut,
dan jangan karena terpengaruh faktor-faktor subjektif seperti hubungan
kekeluargaan dan lain sebagainya.
Tampaknya Ibn
Taimiyah memaknai kata amanah dalam dua pengertian. Pertama, amanah
diartikan kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala
negara untuk mengelolanya. Kedua, amanah diartikan kewenangan pemerintah
yang dimiliki oleh kepala negara.
Dengan persyaratan
yang demikian, maka Ibn Taimiyah tidak mensyaratkan calon kepala negara harus
dari suku Quraisy. Persyaratan ini (suku Quraisy) bertentangan dengan al-Qur'an
yang mengakui persamaan derajat sesama manusia, meskipun ada hadis yang
dijadikan landasan terhadap persyaratan suku Quraisy tersebut.
Tugas utama dan
mendasar seorang kepala negara adalah menciptakan kemaslahatan bersama dalam
wujud menjalankan amanah sebaik-baiknya dan menciptakan keadilan semaksimal
mungkin. Dengan demikian, maka tujuan negara adalah 1) sebagai alat untuk
menjalankan syari'at Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia
sebaik-baiknya, 2) berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bersama secara
hakiki, lahir dan batin seluruh rakyat, dan 3) merupakan lembaga yang harus
bertanggung jawab dalam menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.
Ibn Taimiyah lebih
cenderung kepada bentuk pemerintahan demokratis. Pendapatnya ini disimpulkan
dari penolakannya terhadap sistem khilafah dan juga terhadap model
Syi'ah (imamah). Hanya saja demokratis yang dikehendaki Ibn Taimiyah
adalah demokratis konstitusional yang berlandaskan nilai-nilai syari'at. Model
seperti ini, menurut Ibn Taimiyah, bisa merealisasikan nilai-nilai keadilan.
Bukankah Allah mengirimkan utusan-utusan-Nya supaya kita bersikap adil baik
berhubungan dengan hak-hak Allah maupun dengan hak-hak manusia sebagaimana
firman-Nya:
…Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya rela mempergunakan besi itu) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal
Allah tidak melihatnya.
Tesis pokok Ibn
Taimiyah mengenai negara kenabian adalah bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah
seorang Nabi, bahwa segala aktifitasnya tercakup ke dalam fungsi kenabiannya,
dan bahwa institusi imamah tidak berada di luar fungsi tersebut dan
tidak pula merupakan rukun iman. Pada masa Nabi masih hidup imamah tidak
diperlukan, konsep imamah muncul setelah wafatnya Nabi. Ibn Taimiyah
memiliki alasan-alasan yang kuat untuk membedakan rejim nubuwwah dengan
negara Islam yang lahir setelah Muhammad meninggal dunia. Seorang raja,
menurutnya, kepatuhan rakyat kepadanya karena ia adalah seorang raja. Tetapi,
kita tentu menyadari bahwa Muhammad harus dipatuhi bukan karena dia seorang
kepala negara tetapi karena dia adalah Rasul Allah.
Sebenarnya inti
tesis Ibn Taimiyah di atas dikarenakan pertama, penyangkalannya terhadap
teori ilahiah mengenai imamah yang dikemukakan kaum Syi'ah,
sedang ia tidak menyangkal fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad adalah seorang imam
yang sejati. Kedua, menurutnya, kaum Muslimin tidak pernah mementingkan
sesuatupun juga melebihi iman. Ketiga, bahwa detail-detail penataan
negara tidak perlu disebutkan di dalam al-Qur'an. Negara, menurutnya, harus
dinamis dan progresif di dalam sifat dan kondisinya.
Berkaitan dengan khilafah
Nubuwwah, Ibn Taimiyah menyatakan bahwa perkataan khilafah, seperti
terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah, tidak mengandung signifikansi religius
dan politik. Mengenai empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibn
Taimiyah lebih suka menyebtunya sebagai khalifah an-Nubuwwah.
Menurut penulis
persoalan apakah perkataan khilafah di dalam al-Qur'an maupun hadits
mengandung signifikansi religius dan politik atau tidak memang masih menjadi
perdebatan, bahkan kalau Ibn Taimiyah telah secara tegas menyatakan tidak.
Tetapi bahwa khilafah itu pernah ada dalam sejarah perpolitikan Islam
terlepas dari sebutan yang digunakan sebagai penggantinya juga merupakan
sesuatu yang tidak bisa terbantahkan dan hal ini juga diakui oleh Ibn Taimiyah.
Menurutnya khilafah pernah ada di dalam sejarah sebagai sebuah institusi
politik.
1 comments so far
mantap dah artikelnya
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon