Pengertian Etika & Etika Birokrasi
Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana
manusia harus hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sehingga etika dapat dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang
berlaku dalam masyarakat.
Oleh karenanya,
keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam tatanan
lingkungan sosial. Bertens (dalam Ismail, 2009:5) menjelaskan etika
sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika
merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang atau
masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka etika bermuara pada nilai atau
tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
Adapun Keraf
(Ismail, 2009:5) kaitannya etika dalam birokrasi mendefenisikan etika
sebagai buah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang
menentukan, dan lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi
hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi
pemerintah.
Pengaturan Perilaku
Pemegang Jabatan Birokrasi. Kegiatan pemerintah diatur oleh suatu sistem aturan
main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggungjawab para
pemegang jabatan, di berbagai posisi dan hubungan diantara mereka.
Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan
menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan tersebut.
Impersonalitas
Hubungan. Pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus
menghindari pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan atasan maupun
bawahannya. Maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
Kemampuan Teknis.
pada prinsipnya jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang yang
memiliki kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam
jabatan itu. Biasanya, kualifikasi atas para calon dilakukan dengan ujian atau
berdasarkan sertifikat yang menunjukkan kemampuan mereka.
Penjenjangan Karier. Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karir. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukkan, bukan melalui pemilihan seperti legislatif atau eksekuti. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan dari pada kepada rakyat (voter/pemilih). Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Bukan atas dasar like and dislike, memang hal inipun tidak bisa dihindari realitasnya di dalam tubuh birokrasi saat ini.
Pengertian kedua sebagaimana yang
dikemukakan oleh Parkinsons, pandangan ini lebih cenderung bersifat negatif,
karena birokratisasi tidak hanya diartikan sebagai pembengkakan volume birokrasi
(peningkatan pegawai), tetapi juga penguatan hirarki. Pembengkakan birokrasi
terjadi karena adanya kecenderungan kuat bagi setiap pegawai untuk memiliki
bawahan, karena semakin banyak bawahan semakin tinggi otoritas dan prestisenya.
Penguatan hierarki terjadi karena berlakunya hukum besi oligarkhi pada setiap
organisasi yang semakin membengkak. Organisasi yang semakin membengkak
memerlukan rentang kendali yang semakin panjang, sementara rentang kendali yang
semakin panjang menempatkan sejumlah kecil orang pada posisi puncak hirarki.
Di Indonesia kasus
jumlah pegawai (PNS) dinilai terlalu banyak, sehingga sedikit saja kenaikan
gaji akan berdampak langsung pada anggaran negara, bahkan perekenomian
nasional. Di samping terlalu banyak, birokrasi juga dianggap tidak merata baik
menurut instansi maupun wilayah. Tidak meratanya secara fungsional karena
terdapat sejumlah instansi yang sangat sibuk dari pagi sampai sore, tetapi
tidak jarang juga ada instansi yang tidak terlalu padat kegiatannya. Di samping
itu banyaknya meja, baik secara horizontal maupun vertikal, yang harus dilalui
untuk mengurus sesuatu, sehingga memerlukan waktum dan dana yang semakin
banyak, penguatan hirarki juga tampak pada kelangkaan keberanian mengambil
prakarsa, karena keputusan sangat tergantung pada atasan dan pada pembagian
kerja, yakni yang berupa beban diserahkan ke bawahan tetapi yang menimbulkan
keuntungan ditangani sendiri.
Birokrasi yang ketiga mengandung arti
perluasan kontrol birokrasi terhadap semua kehidupan masyarakat. Ekspansi
kontrol birokrasi terhadap masyarakat dilakukan tidak hanya dengan mengambi
alih semua urusan masyarakat yang sesungguhnya ranah swasta, tetapi juga dengan
membuat regulasi (peraturan) terhadap berbagai urusan masyarakat (termasuk
menyerap sumber ekonomi dari masyarakat). Begitu besar kontrol birokrasi
terhadap hampir semua kehidupan masyarakat mulai dari soal perkawinan sampai
pada pada saat dikuburkan. Sehingga birokrasi digambarkan Orwell ini
dilukiskan secara sarkastik sebagai “bernafas saja diatur oleh birokrasi”.
Birokrasi yang ketiga ini merupakan penyakit (patologi) yang harus diberantas,
kerena ternyata berhasil melumpuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat.
Terkait dengan etika birokrasi, secara ideal dalam kehidupan berbangsa Indonesia sudah ada ketetapan MPR No.VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dapat memberikan dasar pada pengejawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. TAP MPR ini memuat hal-hal berikut :
Etika dalam
kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka melancarkan
penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara, dimana dengan adanya etika yang
dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan
mengarah pada satu tatanan kenegaraan yang stabil, karena persepsi akan
perilaku yang diharapkan oleh masing-masing individu sebagai warga negara dapat
teramalkan dengan baik”
Ketetapan MPR No
VI/2001 merupakan tata aturan yang cukup etis dan mengandung pelbagai norma
etika yang harus diterapkan dalam alur kebangsaan Indonesia guna mewujudkan
bangsa yang merdeka dan berdaulat, menjunjung tinggi moralitas bangsa, serta
dapat mendorong secara emosional warga bangsa ini sebagai bangsa Indonesia.
Akan tetapi, dalam realitas praksis kehidupan bangsa Indonesia, ternyata norma-norma
etis tersebut seringkali hanya digunakan sebatas hiasan. Dalam pemberitaan di
media baik cetak maupaun elektronik, hampir setiap hari dapat disaksikan
sederat tayangan buruknya moralitas bangsa ini, mulai dari pejabat negara
sampai perilaku warga negaranya.
Hampir seluruh
pelosok negeri bahkan pelosok dunia tahu, bagaimana korupnya bangsa yang
dulunya dikatakan paling etis dengan adat ketimurannya itu. Hukum sudah menjadi
permainan politik kelompok berduit dan berkuasa, hampir semua kasus korupsi yang
terjadi di negeri ini tidak ada penyelesaian yang menunjukkan tegaknya hukum di
atas kepentingan politik. Kalau memang ada penyelesaiannya pun, maka tidak
ubahnya seperti sandiwara politik para penguasa negeri. Gontokan anta relit
parpol menjadi tontotan yang menarik di media massa, hal tersebut juga diikuti
dengan ‘perang’ antar warga partai yang merasa pemimpinnya dan golongannya
paling layak hidup di wilayah Indonesia.
Birokrasi
pemerintah di satu sisi ternyata merupakan lahan ‘basah’ dari segenap perilaku
yang menafikan nilai-nilai etika kebangsaan. KKN yang di masa reformasi ini
menjadi target utama untuk diberantas ternyata banyak bersarang dalam struktur
birokrasi pemerintahan. Para aparat birokrasi yang memiliki mentalitas korup,
dengan mekanisme birokrasi yang tidak jelas dan berbelit-belit, kemudian
mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya sebagai pihak yang harus
mendapatkan pelayanan. Dari sinilah kemudian maka perlu adanya penguatan
kembali pelaksanaan etika birokrasi dalam kinerja penyelenggaraan negara
Indonesia ke depan. Berikut ini akan dideskripsikan lebih lanjut problem yang
ada dalam kinerja birokrasi di Indonesia.
Kultur Birkorasi di Indonesia
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik
masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di
Indonesia. menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan
implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan birokrasi tidak lebih
dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan
publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar
sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia.
Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat
paternalistik.
Koentjaraningrat
(1987) menganggap bahwa sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa, khususnya
menunjukkan status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat
eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai (borjuis) membawa efek psikologis pada
aparat birokrasi. Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai
pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Menurut Dwiyanto (2002), hal ini
kemudian membuat birokrasi tidak merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan, melainkan justru
masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.
Corak budaya
agraris yang masih memiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung
mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang
masih berbasis pada kultur agraris tersebut sentimen komunal lebih menonjol
dalam bentuk komitmen untuk menghindari konflik. Pola sikap dan perilaku
birokrasi dalam masyarakat sampai saat ini terlihat masih terpengaruh oleh
budaya tersebut. Sikap aparat birokrasi yang tidak berani melakukan kritik
kepada atasan atau pimpinan dalam perlakuan-perlakuan birokratis yang sering
merugikan kepentingannya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditentang,
bahkan mereka enggan menuntut hak-hak mereka untuk dilayani dalam birokrasi.
Sentralisme birokrasi telah membentuk
pola pemerintahan yang hirarkis birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan
menjadi tidak responsive terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.
Birokrasi menjadi sebuah institusi yang seolah tidak mau mendengar dan melihat
serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan
kepentingan publik. Birokrasi kemudian seolah menjadi kekuatan besar yang tidak
ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya.
Netralisme birokrasi telah menyebabkan
birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai
mitra birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian
good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sentralisme birokrasi juga telah menumbuhkan kultur birokrasi yang terjebak
dalam pengembangan kultur vertikal daripada horizontal yang lebih berorientasi
pada kepentingan publik. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan terjadinya
patologi (penyakit) dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan
wewenang yang dilakukan birokrasi.
Patologi birokrasi muncul karena
norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi telah berorientasi
ke atas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Berbagai
kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat
menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut
mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitive terhadap nilai, aspirasi dan
kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel
sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap
kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Bentuk kekuasaan
yang sentralistik menimbulkan adanya kultur kekuasaan yang kaku dan berkembangnya
fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu untuk
mengembangkan sistem kerja yang fleksibel, bahkan tidak mampu untuk
mengembangkan semangat kerjasama dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan
dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi sebuah kegiatan yang sangat sulit
dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik melibatkan beberapa
bidang dan instansi. Lemahnya pembentukan semangat kerja seringkali membuat
aparat birokrasi enggan, atau bahkan tidak dapat mengerjakan tugas di luar
tugas rutinnya, sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari
kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang akhirnya banyak
dirugikan.