Showing posts with label politika. Show all posts
Showing posts with label politika. Show all posts

Wednesday, May 24, 2017

Prediksi Koalisi Pasca Pileg 2014

Pemilihan umum untuk anggota legislatif tahun 2014 telah digelar. Kendati hasil resmi dari KPU belum dikeluarkan, sekurangnya 4 versi Quick Count telah di tersebar secara online. Lembaga-lembaga seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia - MetroTV (IPI-MetroTV), Hitung Cepat Kompas (HCK), dan Cyrus-CSIS (C-CSIS) kurang lebih memperlihatkan hasil serupa, sekurangnya per jam 21:19 tanggal 9 April 2014.
 
Hasil dari hitung cepat lembaga-lembaga tersebut sebagai berikut:*)




PDI Perjuangan duduk di posisi pertama dengan rata-rata 19,25%, disusul oleh Partai Golkar dengan 14,55%, Partai Gerindra 11,88%, Partai Demokrat 9,68%, PKB 9,13 %, PAN 7,42 %, PKS 6,87 %, PPP 6,68 %, Partai NasDem 6,55 %, Partai Hanura 5,31 %, PBB 1,49 %, dan PKPI 0,99 %. Hasil ini dapat saja mengasumsikan pola-pola politik yang muncul di hajat besar nasional kemudian: Pilpres 2014 bulan Juli 2014. Dengan parliementary-threshold 3,5 %, kemungkinkan besar PBB dan PKPI sulit ambil bagian dalam pertarungan koalisi. 

Undang-undang Pilpres tahun 2008, pasal 9 menyebutkan: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Dengan demikian, hipotesis yang dapat diajukan terkait masalah hasil hitung cepat dan Pilpres 2014 nanti adalah tidak ada satu pun partai politik yang nyaman melenggang tentukan capres dan cawapresnya. Semua partai yang beroleh suara > 10 % "terpaksa" harus koalisi dengan partai lain. Koalisi adalah "suatu pemerintahan dengan mana aneka partai yang berbeda berkomitmen untuk saling melayani dan berbagai pekerjaan (portofolio) di dalam sebuah kabinet serta berbagi portofolio tugas kepala eksekutif. Berdasarkan hasil sementara, maka skenario koalisi yang diajukan dapat beragam. 

Koalisi Polaris

Skenario ini membelah pola koalisi berdasarkan garis ideologi secara zero-sum. Apabila garis ideologi digunakan, maka hanya ada dua macam koalisi untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres (CPCW) yaitu koalisi parpol Nasional dan parpol Islam. Koalisi nasional terdiri atas PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, dan Hanura. Berdasarkan hasil hitung cepat kekuatan suara sah nasional apabila mereka berkoalisi adalah 67,22 %. Dengan 67,22 % suara total, secara kuantitatif koalisi parpol nasionalis menguasai parlemen dan eksekutif Indonesia ditambah mengajukan CPCW sendiri. Di pihak lain, koalisi parpol Islam yaitu PKB, PAN, PKS, dan PPP berkekuatan 30,10 % suara sah secara nasional. Suara total 30,10 % dapat menjadi modal rintisan koalisi parpol Islam, dimulai dengan pembentukan platform kerja dan pengajuan CPCW secara mandiri guna memengaruhi suara parlemen. Koalisi polaris ini bersifat zero sum. Kemampuannya untuk terwujud cukup kecil mengingat sejumlah perbedaan di masing-masing kubu. 

Di dalam kubu nasional, hampir seluruh partai masih bertipikal partai elit seperti Gerindra, PDIP, Demokrat, NasDem dan Hanura. Partai elit cenderung melembagakan tokoh partai sebagai partai itu sendiri. Akibatnya, partai amat bergantung pada political will dan political competence sang tokoh dalam menjalin koalisi. Dengan demikian, bagaimana PDIP bersikap kepada Demokrat dan Gerindra adalah bergantung pada sikap Megawati SP sebagai ketua umum, kepada, baik SBY maupun Prabowo. Di sisi lain, NasDem dan Golkar tentu harus menggali jalinan pengertian mendalam, terutama antara Surya Paloh dan Aburizal. Dalam kubu nasional ini, Golkar merupakan satu-satunya partai yang paling jauh terdesentralisasi. Desentrasilasi ini mendorong Golkan secara mudah disebut partai catch-all, yaitu partai yang berorientasi pemenangan Pemilu. Dengan mudah partai ini dapat menawarkan kompromi-kompromi kepada kubu nasional lainnya agar koalisi CPCW dapat terbentuk. Paling jauh adalah, Golkar meninjau kembali positioning Aburizal sebagai capres dengan menawarkan tokoh lain misalnya Jusuf Kalla, Priyo, maupun Akbar Tanjung sebagai figur koalisi ini. 

Selain masalah figur, platform partai pun dapat menjadi masalah. PDIP dan Gerindra adalah nasionalis-populis. Keduanya lebih banyak meng-endorse isu politik dari akar rumput ke level nasional. Endorsement ini mendorong kekhawatiran munculnya instabilitas atas status quo. Status quo yang dimaksud adalah power relations dan economic relations yang telah mapan sepanjang 10 tahun pemerintahan SBY. Apabila koalisi polaris terwujud, maka hubungan paradoks antara kedua partai ini terjadi vis a vis Golkar dan Demokrat. Demikian pula, NasDem dan Hanura tentu akan merasakan dampak yang sama mengingat Surya Paloh dan Hary Tanoe memiliki kepentingan bisnis yang tidak bisa dikatakan kecil di Indonesia. Di sisi lain, apabila PDIP dan Gerindra memoderasi platform mereka agar selaras dengan kepentingan-kepentingan ikutan yang terbit dari ikut sertanya Golkar, Nasdem, Hanura, dan Demokrat, dapat dipastikan jargon populisme yang keduanya usung selama ini akan anti klimaks.

Selain masalah tokoh dan platform, koalisi nasional dihantui adanya 3 partai "cukup" besar yang terlanjut mengusung "bacapres" sendiri-sendiri. PDIP mengusung Joko Widodo, Gerindra mengusung Prabowo, dan Golkar mengusur Aburizal Bakri. Kendati PDIP punya suara 19 %, tentu tidak mudah apabila menjadikan Aburizal ataupun Prabowo sebagai wakil. Ini belum ditambah negosiasi dari NasDem dan Hanura seputar posisi cawapres. Negosiasi rumit dan alot akan terjadi di kalangan parpol nasional apabila mereka hendak jalan bersama, selain koalisi "tambun" yang mungkin saja memicu inefektivitas dan disorientasi kerja eksekutif yang nantinya terbentuk. 

Koalisi polaris di antara parpol Islam tidak kalah menariknya. Pasca Pileg 2009, sempat muncul "niatan" koalisi partai Islam. Koalisi ini bukan tidak mungkin terwujud asalkan elit partai dapat membangun kesepakatan politik dengan Islam sebagai pemersatu. Masalah yang muncul umumnya positioning sektoral. PKB mungkin menganggap memiliki basis massa Nahdliyin dan kini (dari hitung cepat) punya suara terbesar (sekitar 9,13 %). Di sisi lain, PAN tentu memiliki klaim yang serupa. PKS memiliki pola rekrutmen massa yang cukup spesifik. Sementara PPP kemungkinan merasa diri paling berpengalaman sehingga menaruh harga yang cukup tinggi dalam rencana koalisi ini. Koalisi polaris di antara parpol Islam dapat menjadi test-case, karena ada kemungkinan pengusungan CPCW akan mendorong pada terciptanya "common-enemy". Kesibukan atas "common-enemy" ini melepas sekat di antara keempat parpol sehingga mampu mengorganisir diri ke dalam bentuk koalisi stabil. 

PKB dapat saja mengambil inisiatif awal membangun koalisi parpol Islam. Hal ini seharusnya dapat menjadi lebih mudah karena di era pemerintahan SBY, PKB, PKS, PAN, dan PPP adalah bagian dari koalisi (Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, Hatta Rajasa, dan Suryadarma Ali tentu sering rapat bersama). Masalah-masalah yang terjadi di antara keempat partai ini sesungguhnya telah dapat diinventarisasi dan dijadikan draft awal dalam rencana aksi koalisi mereka. 

Bahkan, lebih jauh lagi, dengan bermodalkan pengalaman 10 tahun berkoalisi, parpol-parpol Islam tentu sudah tidak lagi berpikir mengenai apakah mungkin koalisi dibangun di antara mereka. Hal itu sudah lagi bukan merupakan persoalan karena selama ini mereka telah duduk bersama, baik di dalam eksekutif maupun legislatif. Koalisi parpol Islam seharusnya sudah masuk ke dalam pembahasan mengenai inventarisasi program prioritas seperti kedaulatan ekonomi, kedaulatan wilayah, pemihakan berimbang atas buruh-pengusaha, pemberdayaan PKL (juga tentunya petani dan nelayan), reformasi birokrasi secara nyata, pemberantasan riba, pemberantasan korupsi, pemberdayaan zakat, pengamanan/pertahanan wilayah-wilayah terluar, dan sejenisnya yang sifatnya nasionalis dan populis. Islam tentu saja menjadi faktor pemersatu di antara peserta koalisi dalam menentukan program. Mengingat urgensi dari isu-isu ini, maka persoalan siapa yang menjadi CPCW dan siapa dapat kementerian apa menjadi terlihat "sangat" kecil.


Koalisi Program Aksi

Koalisi program aksi adalah koalisi yang terbentuk berdasarkan kesamaan janji kampanye masing-masing parpol. Pembentukan koalisi jenis ini bukanlah suatu hal yang biasa pasca Pemilu 1999, 2004, dan 2009 di Indonesia. Namun, ketidakbiasaan ini sesungguhnya dapat mulai "dibiasakan" sejak 2014 ini dan ke depan. Dengan terbentuknya koalisi program aksi maka koalisi yang terbentuk akan lebih simetris dengan janji-janji yang para parpol ujarkan selama masa kampanye. 

Koalisi ini disusun mengingat singkatnya masa kekuasaan suatu pemerintahan (hanya 5 tahun). Adalah sulit mewujudkan sekian banyak "janji" hanya dalam waktu 5 tahun saja. Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan oleh para parpol adalah sungguh-sungguh membangun koalisi berdasarkan program aksi apa yang mereka rencanakan. 

Dalam konteks koalisi program aksi ini, Gerindra dan PDIP terlihat memiliki kesamaan yang cukup jelas. Suara total keduanya adalah 31,13 %. Hal ini sufficient karena memenuhi persyaratan 25 % suara untuk CPCW dan cukup mayoritas di dalam parlemen. Tantangan terhadap koalisi terbentuk apabila ke-8 parpol lain bersatu sehinggga berkekuatan 66,19 %. Tantangan ini akan semakin besar mengingat representasi kalangan mayoritas dapat diasumsikan menjadi tidak ada apabila sekadar PDIP-Gerindra saja. Koalisi action PDIP-Gerindra, kendati mungkin terjadi, tetapi berat apabila dilaksanakan begitu saja. 

Koalisi action lain yang mungkin muncul adalah antara sesama parpol Islam yaitu PKS, PPP, PKB, dan PAN. Penguasaan keempatnya atas 30,10 % suara tentu akan menjadi modal kuat apabila dilandasi program action yang sistematis, jelas, terarah, dan mengikat. Koalisi action lain yang mungkin muncul adalah antara Golkar, NasDem, dan Hanura yang mengambil kekuatan 26,41 % suara. Jumlah total suara ini menjadi basis kekuatan di parlemen dan eksekutif untuk mengamankan action-action yang direncanakan mengingat kesamaan posisi kapital para penyandang dana dari ketiga partai ini. Apabila hendak lebih kuat, dapat saja koalisi ini mengajak Demokrat untuk memberi efek yang lebih signifikan menjadi koalisi 4 parpol. 

Koalisi Safety

Koalisi safety adalah koalisi bertujuan tetap ikut serta di dalam kepemimpinan eksekutif. Koalisi jenis ini mirip dengan koalisi di dalam pemerintahan SBY pasca 2009. Koalisi ini beresiko disorientasi, gamang, tidak disiplin, dan kurang berwibawa. Koalisi ini dibentuk sekadar memenuhi kuasa mayoritas dalam parlemen 50 + 1. 

Koalisi safety yang mungkin terbentuk adalah antara PDIP, NasDem, PAN, PKB, PKS, Hanura dengan total 54,52 % suara parlemen dan tubuh terdiri atas 6 parpol. Atau alternatifnya antara Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, dan PAN dengan penguasaan 52,66 % bertubuh 5 parpol. Koalisi safety yang kedua lebih langsing ketimbang yang pertama. 

*) keterangan:
LSI (Lingkaran Survei Indonesia)
IPI-MeTV (Indikator Politik Indonesia - Metro TV)
HCK (Hitung Cepat Kompas)
C-CSIS (Cyrus-CSIS)
Average (Rata-rata)

Model-Model Kepemimpinan Politik

Model-model kepemimpinan politik kini penting untuk dikaji ulang. Indonesia sebentar lagi akan memilih presiden baru. Tanggal pemilihan tersebut 9 Juli 2014. Model-model kepemimpinan politik ditengarai penting untuk mengidentifikasi karakteristik masing-masing calon presiden yang akan bersaing nanti.

Sekurangnya terdapat 4 model kepemimpinan politik, yaitu: (1) Negarawan, (2) Demagog, (3) Politisi Biasa, dan (4) Citizen-Leader. [1] Negarawan adalah seorang pemimpin politik yang memiliki visi, karisma pribadi, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan umum yang kepemimpinannya itu bermanfaat bagi masyarakat. Demagog adalah seseorang yang menggunakan keahliannya memimpin untuk memeroleh jabatan publik dengan cara menarik rasa takut dan prasangka umum untuk kemudian menyalahgunakan kekuasaan yang ia peroleh tersebut demi keuntungan pribadi. Politisi seorang pemegang jabatan publik yang siap untuk mengorbankan prinsip-prinsip yang dimiliki sebelumnya atau mengesampingkan kebijakan yang tidak populer agar dapat dipilih kembali. Citizen-Leader Seseorang yang mempengaruhi pemerintah secara meyakinkan meskipun ia tidak memegang jabatan resmi pemerintahan. 


Model-model Kepemimpinan Politik



Karakteristik Masing-masing Model Kepemimpinan Politik

Definisi masing-masing model kepemimpinan politik sudah diketahui. Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan perabaan guna mengidentifikasi seorang capres masuk ke kategori mana. Untuk itu diperlukan seperangkat indikator. Indikator ini penting demi melakukan pengukuran karakter seorang individu capres.

Karakteristik Negarawan adalah:

  • Mengejar kebaikan umum. Pemimpin terbaik termotivasi bukan oleh kepentingan diri sendiri yang kasar melainkan oleh kebaikan umum.
  • Kebijaksaan yang praktis. Visi kebaikan publik, semenarik apapun tidak akan berguna tanpa orang yang punya visi tersebut tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Sebab itu, pemimpin yang baik harus memiliki kebijaksaan yang praktis, dengan mana lewat kebijaksanaan itu, pemimpin bisa memahami hubungan antara tindakan yang diambil dengan konsekuensi-konsekuensinya.
  • Keahlian politik. Pemimpin yang baik sekaligus pula seseorang yang punya bakat dalam menilai dan melakukan pendelegasian wewenang. Dalam memimpin negara, pemimpin harus menjalankan birokrasi raksasa, mengarahkan para staf, bekerja sama dengan para legislator demi meloloskan program pemerintahan, dan menggalang opini publik sehubungan dengan kebijakan administrasi. Tanpa keahlian politik yang menyukupi, mustahil tugas-tugas berat seperti ini dapat berjalan secara baik.
  • Kesempatan luar biasa. Negarawan lahir dari suatu kondisi kritis. Ketika suatu negara berada dalam pusaran kejenuhan, kebosanan, stagnasi, disorientsi, atau perang, dari sinilah negarawan umumnya lahir.
  • Nasib baik. Terkadang, seorang negarawan lahir karena nasib baik. Kadang pula disebutkan, bahwa ia dianugerahi berkah oleh Yang Mahakuasa untuk memikul beban masyarakat dan negaranya.

Karakteristik Demagog adalah:
  • Ia mengeksploitasi prasangka publik. Sebagai seorang tokoh, demagog sangat sensitif akan prasangka-prasangka sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Ia kemudian memerankan diri sebagai berdiri di sisi masyarakat sehubungan dengan prasangka yang muncul. Peran tersebut dibarengi dengan rangkaian janji bahwa ia akan memastikan bahwa prasangka tersebut akan ditanggulangi apabila ia menduduki jabatan politik.
  • Kerap melakukan distorsi atas kebenaran. Kebenaran adalah tidak lebih dari komoditas politik. Apabila kebenaran tersebut tidak sejalan dengan prakteknya untuk menggapai kekuasaan, ia akan mendistorsinya. Distorsi tersebut sebagian besar diperkuat dengan aneka fakta "kuat" yang ia susun sehingga distorsi tersebut masuk akal. Dengan kata lain, ia membuat "babad" yaitu rangkaian cerita historis yang menguatkan posisinya di atas kebenaran yang ada.
  • Mengumbar janji-janji manis untuk memeroleh kuasa politik. Terlebih, apabila janji tersebut cukup populis dengan pangsa pemirsa yang cukup besar. Sekali lagi, bagi seorang demagog, janji adalah komoditas politik yang akan digunakannya sebagai instrumen kampanye guna meneguhkan posisinya dibanding para kompetitornya yang lain.
  • Tidak canggung menggunakan metode yang dinilai kurang bermoral. Hal ini terkait dengan karakteristik-karakteristik sebelumnya. Masalah moral bukan masalah yang harus diprioritaskan. Moral bergantung pada tujuan, dan moral dalam diri seorang demagog adalah situasi di mana keinginannya untuk berkuasa terealisasi. Tidak ada penilaian moral untuk metode yang ia gunakan untk menyapai tujuan kekuasaan.
  • Memiliki daya tarik yang besar terhadap masyarakat banyak. Seorang demagog sekaligus adalah orang yang populer di mata publik. Aneka daya tarik bisa saja dimiliki seorang demagog. Daya tarik inilah yang sesungguhnya membuat publik memercayai seorang demagog. Publik tidak lagi kritis akan variabel ideosinkretik yang melekat di dalam diri demagog. Publik hanya memercayai apa dan bagaimana performance seorang demagog secara aktual.
  • Jika negarawan secara tulus peduli akan keadilan dan kebaikan umum, maka Demagog sekadar berpura-pura peduli dalam rangka memeroleh jabatan, yang begitu ia mendapatkannya, tanpa ragu ia akan mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan karakteristik seorang demagog, bahwa ia hanya ingin berkuasa. Setelah ia berkuasa, segala hal yang ia janjikan di masa-masa sebelumnya akan direnegosiasi ulang.

Karakteristik Politisi biasa adalah:
  • Tidak punya visi dan bakat yang cemerlang. Seorang politisi biasa tampak kurang bersinar. Ia hanya berada di "sekeliling" tanpa pernah menjadi pusat pengambilan arah suatu masyarakat. Visi yang ia miliki terlampau umum, kurang greget, "biasa", dan terkesan asal ambil. Bakat yang ia miliki mungkin alami atau "karbitan", tetapi publik memandangnya sebagai "datar", "umum", dan "kurang menarik."
  • Hidup cuma day-to-day, dengan upaya untuk mengatasi tekanan dan hambatan yang dialami dalam keseharian. Politisi biasa tidak hidup untuk long-term melainkan short-term. Ia hanya dipusingkan urusan bagaimana agar ia tetap bercokol di lingkaran kekuasaan. Ia tidak terlalu pusing apabila disebut tidak melakukan apa-apa di dalam jabatannya. Ia baru merasa pusing apabila menghadapi kemungkinan akan tidak dipakai kembali di masa mendatang.
  • Kendati ingin berbuat sesuatu yang baik, mereka selalu kesulitan menjaga isu-isu moral dan etika secara tegas. Politisi biasa janganlah diharapkan untuk bicara masalah moral ataupun etika. Masalah moral dan etika bukanlah prioritas di dalam jabatannya. Kerapkali memang, politisi biasa ingin berbuat sesuatu yang baik. Namun, kerap pula keinginan tersebut dibatasi oleh keinginannya untuk menyenangkan seluruh pihak. Ia ingin diterima oleh semua pihak dan moral serta etika kerap menjadi korban dari kehendaknya tersebut.
  • Mereka sulit mengatasi risiko politik. Karena itulah, mereka memosisikan diri mereka di titik aman. Ia berusaha netral bahkan di saat ia ada dalam posisi terjepit untuk memilih. Pilihan barulah ia buat apabila ada keyakinan bahwa pilihan tersebut membawanya ke titik aman lainnya. Bagi politisi biasa, perjuangan untuk tetap di pusaran kekuasaan adalah lebih penting ketimbang ia menunjukkan posisi dirinya yang asli.
  • Kendati mereka ini umumnya tidak korup, tetapi sesungguhnya mereka mudah sekali untuk disuap. Karena mereka enggan menanggulangi risiko politik, mereka menerapkan image tidak korup. Dan, ketidakkorupan ini bukanlah sesuatu yang mutlak kita tidak harus percaya. Sayangnya, mereka justru membuka diri untuk disuap. Kesediaan disuap ini tegas dilatarbelakangi oleh kehendak mereka untuk menyari aman. Toh, bukan saya yang meminta tetapi mereka.
  • Mereka ini tidak lebih baik atau lebih buruk dari manusia lainnya. Bedanya, mereka punya posisi untuk melakukan hal-hal buruk (ataupun baik) dengan dampak lebih besar. Secara umum, mereka sulit dibedakan dengan warganegara lain pada umumnya. Mereka terlampau biasa, sehingga perilaku yang mereka tunjukkan di layar kaca atau media massa sama persis dengan perilaku kita, keluarga kita, ataupun teman kita. Bedanya, kita, keluarga kita, ataupun teman kita tidak punya kuasa untuk membuat kebijakan umum. Para politisi biasa ini bisa.

Karakteristik Citizen-Leader adalah:
  • Punya pengabdian unik atas masyarakat. Mereka ini, dalam waktu lama, aktif memimpin suatu segmen dalam masyarakat dalam memerjuangkan keyakinan dan posisi mereka di dalam kepolitikan suatu negara. Mereka nyaris tidak lagi memiliki kehidupan privasi karena hampir di setiap saat, mereka harus bergerak, bekerja, dan mengatasi permasalahan segmen masyarakat yang mereka wakili. Mereka inilah yang kerap berhadapan dengan kuasa-kuasa formal, bersitegang, dan menerima sanksi atas keyakinan pengabdiannya. Sulit untuk meminta sesuatu yang sifatnya formalitas pada mereka karena kuasa negara yang formal itu pun dalam anggapan mereka sudah bersifat informal.
  • Punya magnet personal di dalam dirinya. Seorang citizen-leader diyakini memiliki daya tarik yang luar biasa di dalam diri mereka. Magnet inilah yang membuat para pengikutnya bahkan rela memberikan loyalitas mereka kepada dirinya. Daya tarik ini dapat merupakan perpaduan unik antara berkah dari Yang Mahakuasa dengan bakat-bakat kepimpimpinan yang ia miliki.
  • Keberaniannya di atas rata-rata, sehingga menarik orang-orang untuk menjadi pengikutnya. Dare to be different adalah pasti kualitas yang ada di dalam diri seorang citizen-leader. Keberanian yang ia miliki jauh di atas rata-rata orang di sekelilingnya. Keberanian yang ia miliki menular kepada para pengikutnya sehingga perjuangan yang ia bawakan memiliki stamina cukup untuk durasi panjang.

DAFTAR PUSTAKA 
----------

[1] Thomas M. Magstadt, Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues (Belmont: Wadsworth, 2010) p.307.