Tuesday, March 8, 2016

RUU Kesehatan Jiwa

RUU Kesehatan Jiwa

Saat ini Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI sedang memfinalisasi RUU yang akan disampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk harmonisasi dan sinkronisasi.  Targetnya RUU Kesehatan Jiwa pada akhir tahun 2013 ini sudah bisa disahkan sebagai RUU inisiatif DPR agar tahun depan sudah dapat dibahas dengan pemerintah. Bahkan, ditargetkan pembahasan dengan pemerintah dapat diselesaikan sebelum masa jabatan anggota DPR saat ini berakhir pada 30 September 2014. Injury time ini tentu merupakan proses yang cukup mendebarkan mengingat masih ada potensi meleset dari estimasi waktu penyelesaian yang ditargetkan.

Semangat diusulkannya RUU Keswa ini merupakan upaya untuk menyelamatkan masyarakat kita dari ketidakseimbangan mental. Realitasny  gangguan psikososial di masyarakat cukup tinggi, misalnya fenomena masih banyaknya pemasungan terhadap penderita ganggguan jiwa karena terbatasnya akses layanan kesehatan jiwa. Dalam RUU itu nanti diatur tentang hak dan kewajiban orang dengan gangguan jiwa, mengidentifikasi upaya-upaya promotif, preventif, rehabilitatif pada kelompok usia tertentu, dampak psikososialnya, ancaman lingkungannya, dan lain-lain. Diatur juga mengenai sumber daya kesehatan jiwa, termasuk dokter dan perawatnya.

Panitia Kerja Penyusunan RUU tentang Keswa terus melakukan pembahasan terhadap draf RUU tersebut. Dalam melakukan pembahasan, Panja menggunakan sistem klaster, memasukkan berbagai substansi yang sejenis ke dalam satu klaster. Hal dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah anggota Panja dalam memahami dan membahas RUU Keswa.

Panja telah menyepakati 6 klaster besar dalam RUU Keswa. Pertama, judul, konsideran, ketentuan umum, azas dan tujuan. Kedua, sistem pelayanan kesehatan jiwa dan upaya pelayanan kesehatan jiwa. Ketiga, sumber daya di bidang kesehatan jiwa. Keempat, tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kelima, pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum. Dan, keenam, hak dan kewajiban ODGJ serta peran masyarakat. Ada juga klaster tambahan, tentang pentingnya melindungi kelompok rentan seperti lansia,  anak-anak, perempuan, korban bencana alam serta korban yang ada irisan dengan UU Narkotika.

Sejumlah pihak yang berurusan dengan masalah kesehatan jiwa sudah diundang oleh Panja RUU Keswa ini untuk memberikan masukan. Sebelumnya Perhimpunan Jiwa Sehat telah memberi masukan. Yenni Rosa selaku Ketua dari Perhimpunan Jiwa Sehat menilai bahwa negara masih belum melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak-hak orang dengan masalah kejiwaan. Terakhir masukan datang dari Direktur Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Kepala Pusat Intelegensia dari Kementerian Kesehatan Jiwa serta dari Himpunan Psikolog Indonesia.

Harus diakui, jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Srilanka yang sudah punya UU Kesehatan Jiwa sejak tahun 2005, Indonesia termasuk ketinggalan. Indonesia termasuk dalam 25% negara di dunia yang belum memiliki UU Kesehatan Jiwa. Kita tertinggal dari negara-negara Asia lain seperti Jepang, China dan Korea. Salah satu dari pelajaran di negara lain, Portugal mampu melakukan dekriminilasisasi pecandu narkoba, yaitu pecandu narkoba yang tertangkap seharusnya memang menjalani rehabilitasi, bukan dihukum. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan UU Keswa di negara lain, sejumlah anggota Komisi IX  baru saja berkunjung ke Milan untuk melakukan studi terkait RUU ini pada 22-28 Juni 2013 lalu.

Masalahnya dikalangan anggota Panja RUU Keswa ini masih ada perdebatan yang cukup serius. Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatoellah menolak wacana pembahasan RUU tersebut. Alasannya RUU Keswa bisa menjadi jalan bagi para pelaku tindak pidana lolos dari jerat hukum. Memang orang dengan gangguan jiwa tidak bisa dikenai sanksi pidana. Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan mengikuti jalannya hukum acara pidana. Orang gila dianggap tidak bisa menjawab pertanyaan penyidik dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Mereka tidak mungkin dilibatkan dalam proses persidangan baik sebagai saksi maupun terdakwa.

Seharusnya menurutnya, persoalan hukum bagi penderita gangguan jiwa cukup diatasi dengan peraturan pemerintah. Hal ini sejalan dengan mandat UU Kesehatan Nomor 36 2009.
Dalam UU tersebut dinyatakan pemerintah – dalam hal ini Kementrian Kesehatan – wajib membuat peraturan yang mengatur tentang keberadaan penderita gangguan jiwa. Peraturan pemerintah dianggap lebih efektif menangani kasus pidana orang gangguan jiwa. Pasalnya jika diatur dalam undang-undang khusus (UU Kesehatan Jiwa), hal itu bisa membuka celah bagi pelaku pidana lolos dari jerat hukum. Karena posisi UU Kesehatan Jiwa setara dengan UU KUHP.

Di luar masalah tersebut, selama ini pasal tentang kesehatan jiwa memang tercecer di banyak undang-undang seperti di UU KDRT atau bencana alam. Karena tidak ada payung hukum yang jelas, lembaga yang berwenang bisa saling melempar tanggung jawab. Bila disahkan UU tersebut bisa menjadi payung hukum untuk melindungi orang dengan gangguan jiwa, keluarganya dan juga masyarakat.  Harapannya dengan UU Keswa ini disahkan, otomatis semua pasal yang ada di dalam UU ini bisa diimplementasikan untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat indonesia. Setiap penderita gangguan jiwa nantinya akan dijamin mendapatkan pelayanan kesehatan serta perlindungan hukum dan sosial yang lebih memadai. 

Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon