RUU Kesehatan Jiwa |
Saat ini Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI sedang
memfinalisasi RUU yang akan disampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk
harmonisasi dan sinkronisasi. Targetnya RUU Kesehatan Jiwa pada
akhir tahun 2013 ini sudah bisa disahkan sebagai RUU inisiatif DPR agar tahun
depan sudah dapat dibahas dengan pemerintah. Bahkan, ditargetkan pembahasan
dengan pemerintah dapat diselesaikan sebelum masa jabatan anggota DPR saat ini
berakhir pada 30 September 2014. Injury time ini tentu merupakan proses yang
cukup mendebarkan mengingat masih ada potensi meleset dari estimasi waktu
penyelesaian yang ditargetkan.
Semangat diusulkannya RUU Keswa ini merupakan upaya untuk
menyelamatkan masyarakat kita dari ketidakseimbangan mental. Realitasny gangguan
psikososial di masyarakat cukup tinggi, misalnya fenomena masih banyaknya
pemasungan terhadap penderita ganggguan jiwa karena terbatasnya akses layanan
kesehatan jiwa. Dalam RUU itu nanti diatur tentang hak dan kewajiban orang
dengan gangguan jiwa, mengidentifikasi upaya-upaya promotif, preventif,
rehabilitatif pada kelompok usia tertentu, dampak psikososialnya, ancaman
lingkungannya, dan lain-lain. Diatur juga mengenai sumber daya kesehatan
jiwa, termasuk dokter dan perawatnya.
Panitia Kerja Penyusunan RUU tentang Keswa terus
melakukan pembahasan terhadap draf RUU tersebut. Dalam melakukan pembahasan,
Panja menggunakan sistem klaster, memasukkan berbagai substansi yang sejenis ke
dalam satu klaster. Hal dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah anggota
Panja dalam memahami dan membahas RUU Keswa.
Panja telah menyepakati 6 klaster besar dalam RUU Keswa.
Pertama, judul, konsideran, ketentuan umum, azas dan tujuan. Kedua, sistem
pelayanan kesehatan jiwa dan upaya pelayanan kesehatan jiwa. Ketiga, sumber
daya di bidang kesehatan jiwa. Keempat, tanggung jawab pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Kelima, pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum.
Dan, keenam, hak dan kewajiban ODGJ serta peran masyarakat. Ada juga
klaster tambahan, tentang pentingnya melindungi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak,
perempuan, korban bencana alam serta korban yang ada irisan dengan UU Narkotika.
Sejumlah pihak yang berurusan dengan masalah kesehatan jiwa sudah diundang
oleh Panja RUU Keswa ini untuk memberikan masukan. Sebelumnya Perhimpunan Jiwa
Sehat telah memberi masukan. Yenni Rosa selaku Ketua dari Perhimpunan Jiwa
Sehat menilai bahwa negara masih belum melindungi, mempromosikan dan memenuhi
hak-hak orang dengan masalah kejiwaan. Terakhir masukan datang dari Direktur
Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Kepala Pusat Intelegensia dari Kementerian
Kesehatan Jiwa serta dari Himpunan Psikolog Indonesia.
Harus diakui, jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Srilanka yang
sudah punya UU Kesehatan Jiwa sejak tahun 2005, Indonesia termasuk ketinggalan.
Indonesia termasuk dalam 25% negara di dunia yang belum memiliki UU Kesehatan
Jiwa. Kita tertinggal dari negara-negara Asia lain seperti Jepang, China dan
Korea. Salah satu dari pelajaran di negara lain, Portugal mampu melakukan
dekriminilasisasi pecandu narkoba, yaitu pecandu narkoba yang tertangkap
seharusnya memang menjalani rehabilitasi, bukan dihukum. Untuk mendapatkan
gambaran tentang pelaksanaan UU Keswa di negara lain, sejumlah anggota Komisi
IX baru saja berkunjung ke Milan untuk melakukan studi terkait RUU
ini pada 22-28 Juni 2013 lalu.
Masalahnya dikalangan anggota Panja RUU Keswa ini masih ada perdebatan yang
cukup serius. Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatoellah menolak wacana
pembahasan RUU tersebut. Alasannya RUU Keswa bisa menjadi jalan bagi para
pelaku tindak pidana lolos dari jerat hukum. Memang orang dengan gangguan jiwa
tidak bisa dikenai sanksi pidana. Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan
mengikuti jalannya hukum acara pidana. Orang gila dianggap tidak bisa menjawab
pertanyaan penyidik dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Mereka tidak
mungkin dilibatkan dalam proses persidangan baik sebagai saksi maupun terdakwa.
Seharusnya menurutnya, persoalan hukum bagi penderita gangguan jiwa cukup
diatasi dengan peraturan pemerintah. Hal ini sejalan dengan mandat UU Kesehatan
Nomor 36 2009.
Dalam UU tersebut dinyatakan pemerintah – dalam hal ini Kementrian
Kesehatan – wajib membuat peraturan yang mengatur tentang keberadaan penderita
gangguan jiwa. Peraturan pemerintah dianggap lebih efektif menangani kasus
pidana orang gangguan jiwa. Pasalnya jika diatur dalam undang-undang khusus (UU
Kesehatan Jiwa), hal itu bisa membuka celah bagi pelaku pidana lolos dari jerat
hukum. Karena posisi UU Kesehatan Jiwa setara dengan UU KUHP.
Di luar masalah
tersebut, selama ini pasal tentang kesehatan jiwa memang tercecer di banyak
undang-undang seperti di UU KDRT atau bencana alam. Karena tidak ada payung
hukum yang jelas, lembaga yang berwenang bisa saling melempar tanggung jawab.
Bila disahkan UU tersebut bisa menjadi payung hukum untuk melindungi orang
dengan gangguan jiwa, keluarganya dan juga masyarakat. Harapannya
dengan UU Keswa ini disahkan, otomatis semua pasal yang ada di dalam UU ini
bisa diimplementasikan untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat
indonesia. Setiap penderita gangguan jiwa nantinya akan dijamin mendapatkan
pelayanan kesehatan serta perlindungan hukum dan sosial yang lebih
memadai.