Salah satu kajian dalam ilmu politik
adalah mempelajari tentang “KEKUASAAN”, terdapat beberapa ahli yang menyatakan
bahwa politik merupakan cara bagaimana merebut dan mempertahankan suatu
kekuasaan. Maka pada artikel kita kali ini akan membahas mengenai apa itu
pengertian kekuasaan beserta dimensi-dimensi kekuasaan.
Dalam mendefinisikan kekuasaan kita
harus melihat dari beberapa sudut pandang (point of view) atau perspektif dalam
memandang apa itu kekuasaan? Setidaknya ada 4 pendekatan yang bisa kita gunakan
dalam mendefinisikan pengertian dari kekuasaan, berikut ini diantaranya :
Pertama, Pendekatan one dimension view of power (Kubu Pluralis)
Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana
salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang
didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada “perintah” dari kelompok yang
mendominasi.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan potensial dan aktual, menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005), dalam
melakukan analisisnya, penganut pliralisme menggunakan behavioralisme yang
mempunyai sifat empiris dan observable, sehingga lebih menekankan pada analisa
aktor. Metodenya lebih menekankan pada studi tingkah laku (behavior) yang
konkret dan dapat diamati dari para aktor dala pembuatan keputusan atas isu-isu
kunci atau penting yang melibatkan konflik aktual dan bisa diamati. Para
penganut pluralis dalam mengidentifikasi kekuasaan adalah dengan mempelajari
proses pembuatan kebijakan karena dalam pendangan ini pembuatan kebijakan
merupakan konflik langsung dan bias diamati. Kaum pluralis beranggapan bahwa
kepentingan harus dipahami sebagai preferansi, sehingga konflik kepentingan dianggap
sebagai konflik preferensi. Dalam melakukan analisa terhadap kekuasaan, factor
yang paling penting adalah konflik, dimana ada kompetisi dan ada disharmoni
antara aktor yang mempunyai kepentingan yang berlawanan sehingga pengamatan
dapat secara lebih mudah dilakukan. Namun keseluruhan pengamatan terhadap
objek, diasumsikan dilakukan oleh objek dalam keadaan sadar terhadap
konsekuensi-konsekuensi tindakan untuk memperoleh preferensi.
Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem
terbuka dengan kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat,
bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan
berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu
dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut.
Jadi dalam pandangan pluralis ini untuk memahami kekuasaan
adalah dengan melihat aktor sebagai komponen utama analisisnya. Semakin sering
banyak seorang aktor menggunakan sumber-sumber kekuasaan dengan intensitas yang
tinggi dalam mempengaruhi keputusan politik guna memperoleh preferensinya maka
dapat dikatakan semakin besar pula kekuasaan dari seorang aktor tersebut.
Kedua, Pendekatan two dimensi of power (Kubu Pengkritik Pluralis)
Pendekatan yang digunakan oleh kubu kedua ini sering disebut
pendekatan elit atau pendekatan dua dimensi yang dikemukakan oleh Peter
Bachrach dan Morton Baratz. Kubu kedua ini mengkritik kubu pluralis yang
melihat kekuasaan dari satu dimensi saja yakni bagaimana seseorang menggunakan
sumber-sumber kekuasaannya untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan
preferensinya. Menurut kubu kedua ini kekuasaan tidak hanya dilihat dari
bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi
kebijakan sesuai dengan preferensinya saja melainkan juga dapat dilihat dari
dimensi bagaimana seorang elit menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk
menutup atau menghambat isu-isu atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak
menguntungkan bagi dirinya atau bahkan membahayakan dirinya.
Menurut Ratnawati dan
Dwipayana (2005) poin sentral pada pendekatan dari kubu ini adalah bahwa
pada tingkat mana seseorang atau kelompok secara sadar atau tidak menciptakan
dan memperkokoh hambatan bagi munculnya konflik kebijakan dipermukaan, maka
dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok tersebut mempunyai kekuasaan.
Pendekatan ini menekankan pada kekuasaan dipraktekan atau digunakan
dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatan keputusan pada isu-isu yang
relatif aman bagi mereka yang menggunakan kekuasaan tersebut. Isu politik
terpenting dari kubu ini adalah mengidentifikasi isu potensial yang tidak mampu
atau terhambat untuk diaktualkan.
Jadi pandangan kubu ini melihat kekuasaan dari dua dimensi yakni
dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun
distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada
satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang
monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai
kekuatan dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak
menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya.
Ketiga, Pendekatan Three dimension of power (Kubu Radikal)
Kubu radikal adalah kubu yang mengkritik pendekatan kubu kedua
diatas. Pendekatan kubu radikal ini diungkapkan oleh Steven lukes dalam bukunya Power;
A Radical view. Salah satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya
pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan
analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak
terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya
yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Pendekatan pada kubu radikal ini
menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk
kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka.
Menurut Ratnawati dan
Dwipayana (2005) lukes tidak sepakat dengan konsepsi konflik aktual sebagai
satu satunya bahan analisa sistem politik melainkan juga konflik laten dan
potensial. Konflik laten terjadi dimana ketika tidak ada kesesuaian antara
kepentingan penguasa dengan kepentingan riil dari mereka yang tidak terlibat
dalam pembuatan keputusan. Ia tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan
bahwa jika dalam masyarakat tidak ada konflik yang terbuka, maka disana tidak
ada fenomena relasi kekuasaan. Menurut Lukes, pihak yang berkuasa mampu membuat
pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi dengan
cara yang sistemik. Sehingga kubu radikal ini menolak pandangan kaum pluralis
yang melihat bahwa kepentingan pribadi adalah subjektif. Menurut Lukes
kepentingan individu adalah hasil konstruksi dari adanya kekuasaan pihak lain.
Jadi dalam pandangan kubu radikal ini melihat kekuasaan dari tiga
dimensi yakni Dimensi pertama, yaitu kekuasaan, dilihat dari perilaku dalam
pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah
kepentingan subjektif. Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses
pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang
didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata
sehingga menyingkirkan atau menghambat isu-isu atau kepentingan yang tidak
menguntungkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Dimensi yang ketiga
adalah bagaimana kekuasaat tidak hanya dilihat pada kondisi konflik aktual saja
melainkan juga dilihat dalam konflik laten dan potensial. Dimana konflik aktual
tidak terjadi karena pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak
punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi. Dalam dimensi ketiga ini terdapat
sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas
kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha
mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu.
Keempat, Pendekatan Four Dimension of Power (Kubu Realis)
Menurut Ratnawati dan
Dwipayana (2005) Kubu realis yang dipelopori oleh Jefrey Isaac dan Ted
Benton berpendapat bahwa analisis kekuasaan seharusnya menekankan bukan pada
tingkah laku yang teratur melainkan pada hubungan sosial yang membentuk mereka.
Analisis kekuasaan bukan pula diletakan pada individu-individu yang diantara
mereka belum tentu mempunyai keterikatan, namun ditekankan pada kecenderungan
yang sama.
Pendekatan four dimension of power ini menekankan
analisa terhadap relasi struktural yang melibatkan lingkungan. Bahwa untuk
mencapai tujuan tertentu, diperlukan analisa terhadap aktor lain, karena
terdapat relasi saling bergantung diantara banyak aktor. Tujuan-tujuan tersebut
terintegrasi dalam kepentingan-kepentingan (real interest) yang berupa
nilai, norma dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek sosial. Menurut Benton interest berbeda
dengan preferences. Menurutnya keinginan, preferensi, kesenangan
atau pilihan belum tentu menjadi interest seseorang. Baginya
setiap aktor tidak mampu menjadi otonom. Kalau Lukes pada pendekatan Three
dimension of power memahami kekuasaan berdasarkan sudut pandang
ontologi dan metodologi individualisme, Benton mendasarkan pada sudut pandang
metodologi relasionalisme, dimana individu adalah sebagai bagian dari
lingkungan sosial.
Itulah bahasan kita kali
ini tentang pengertian dan definisi kekuasaan serta dimensi-dimensi kekuasaan
yang bisa menggambarkan apa sebenarnya kekuasaan itu sendiri. Semoga
bermanfaat.
1 comments so far
If you have any views on the current political situation, send them to us for publication! For more information, visit our website here https://pilpres2024wrd.wordpress.com/
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon