New Institutionalism merupakan salah satu paradigma yang berkembang dalam ilmu
politik. Paradigma ini merupakan kritik atas pendahulunya, yaitu Institutionalism.
Seperti diketahui bahwa Institutionalism memiliki karakter utama, yakni : pertama, cita-cita politik yang berkembang
dalam sejarah politik Barat dijelmakan dalam hubungan-hubungan khusus antara
penguasa dan rakyat. Kedua, selalu memiliki ciri khas dimana
aturan, prosedur, dan organisasi pemerintahan menjadi starting point dalam diskursus politik kenegaraan.
Cara pandang tersebut tentu saja memiliki kelemahan
di mana cenderung menganggap tidak penting aktor politik sebagai inisiator.
Pembentukan atau perubahan sebuah institusi, tidak dapat dilepaskan dari
kepentingan aktor inisiatornya. Dalam konteks untuk menjawab kelemahan inilah
muncul cara pandang yang mengoreksi Institutionalism,
yakni New Institutionalism.
Menurut fokus perhatian New Institutionalisme dibedakan dalam beberapa pendekatan turunan yakni Rational Choice Institutionalism, Sociological Institutionalisme, dan Historical Institutionalism (Campbel, 2004).
Pertama, Rational Choice Institutionalism merupakan aliran pendekatan institutionalisme baru yang sangat kentara dipengaruhi oleh tradisi behavioralis yang menganggap bahwa interaksi manusia merupakan manifestasi dari kepentingan diri individu. Menurut Hall dan Taylor (1996,146) menganggap bahwa aktor, baik individu maupun organisasi selalu memiliki seperangkat preferensi atau selera yang baku. Untuk mencapai preferensi-preferensi tersebut, aktor akan bertindak dan berperilaku secara instrumental, bertindak strategis dan membuat kalkulasi yang komprehensif untuk tercapainya tujuan yang diinginkan. Rational Choise memiliki fokus utama pada persoalan bagaimana aktor-aktor yang ada membangun dan merubah institusi untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Institusi juga dianggap hadir untuk menata interaksi-interaksi aktor dengan cara mempengaruhi apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak. Selain itu institusi juga diharapkan bisa melanjutkan agenda dan preferensi individu dan organisasi
Kedua, Sociological Institutionalism merupakan institutionalism
yang berfokus pada upaya institusi untuk mampu menyediakan identitas dan
makna interaksi sosial. Selain itu juga concern pada bagaimana institusi
mempengaruhi pilihan dan identitas aktor. Menurut Campbel (2004:17) cara
pandang ini melihat bahwa lingkungan (nilai dan identitas) akan mempengaruhi
pilihan dan strategi aktor politik dalam institusi. Perubahan dan pembentukan
institusi harus mempertimbangkan faktor eksernal institusi.
Ketiga, institusionalisme
historis (historicalinstitutionalism). Berbeda
dengan institusionalisme sosiologis, institusionalisme historis mengacu pada
catatan sejarah. Institusionalisme historis menempatkan analisis sejarah dan
penelitian-penelitian lain dalam memahami fenomena institusinya. Sedangkan
institusionalisme politik berusaha menunjukkan kekuatan yang jelas serta
menekankan peran kausal institusi politik terhadap proses dan hasil politik.
Ketiga pendekatan ini meruapakan
pendekatan-pendekatan yang biasa digunakan dalam berbagai analisa politik.
Berbicara pendekatan, maka tentu saja memiliki kelemahan selain tentunya
kelebihan. Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian dikritik oleh
pendekatan-pendekatan lainnya seperti konstruktivis, positivist, dan pendekatan
lainnya. Hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Yang terpenting dalam cara
pandang adalah konsisten dan memiliki argumentasi yang mampu membuktikan
kesimpulan kita.
Cara pandang dalam analisa politik bagaikan ruh yang sangat penting untuk membangun positioning dan pemihakan penulis atau pengkaji akan satu tema politik tertentu. Dalam satu kondisi cara pandang ini dapat dijadikan frame dalam mengarahkan kajian untuk menghasilkan kesimpulan yang mampu dipertanggungjawabkan secara metodis.
Cara pandang dalam analisa politik bagaikan ruh yang sangat penting untuk membangun positioning dan pemihakan penulis atau pengkaji akan satu tema politik tertentu. Dalam satu kondisi cara pandang ini dapat dijadikan frame dalam mengarahkan kajian untuk menghasilkan kesimpulan yang mampu dipertanggungjawabkan secara metodis.
Memang membicarakan metode ilmu politik harus
disertai dengan mengkaji lebih lanjut metode penelitian politik, sebagai
manifestasi konsekuensi memilih satu pendekatan tertentu. Satu pendekatan mungkin
tidak cocok dengan metode penelitian tertentu. Semisal jika kita memilih cara
pandang behavioralisme dalam kajian tema politik kita, maka akan lebih efektif
mengkajinya dengan menggunakan metode yang biasa digunakan postivist, karena
meneliti perilaku politik seseorang akan lebih mudah dengan menggunakan tradisi
penelitian kuantitatif, dibanding kualitatif. Sehingga lebih cocok jika
menggunakan tradisi positivist. Hal ini akan dibahas lebih detail dalam
postingan saya selanjutnya tentang hubungan metodologi ilmu politik dengan
metode penelitian.