Teori Politik - Hai sobat, kali ini kita akan membahas kajian materi kuliah pemikiran politik Indonesia, tokoh politik yang akan kita upas adalah Sutan Sjahrir. Siapa itu Sutan Sjahrir? dan Bagaimana pemikiran politiknya? berikut ini ulasan selengkapnya.....
Sutan Sjahrir salah satu pemikir Indonesia yang mungkin hampir dilupakan juga oleh generasi muda Indonesia. Tokoh ini adalah salah satu dari tujuh “Bapak Revolusi Indonesia”. Dia mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, walau ia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Ideologinya sangat konsisten yakni antifasisme dan antimiliter. Namun sebelum lebih dalam untuk menceritakan lebih dalam kerangka pemikiran politik Sjahrir hingga begitu popular dan menjadi perdana menteri. Sebelum lebih dalam mengamati alam pemikiran sosialisnya, ada baiknya menceritakan sedikit kronologis sejarah kehidupan Sjahrir hingga meninggal dalam pengasingan. Sjahrir menjadi pahlawan revolusioner yang gugur dalam kesepian akibat tersingkir karena politik.
Sutan Syahrir yang lahir 5 Maret 1909, dan di besarkan dalam lingkungan keluarga menengah karena ayahnya Muhammad Rasyad menjadi jaksa tinggi. Medan adalah kota kenangan Sjahrir kecil, di daerah kelahirannya Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir hampir tidak ada kenangan di daerah tersebut. Usianya baru menginjak setahun harus pindah ke Jambi mengikuti jejak sang ayah, hingga umur empat tahun, setelah itu Sjahrir pindah ke Medan. Sjahrir beruntung mampu mengenyam pendidikan di tengah perkembangan politik etis Belanda. Sehingga ia mampu masuk ke Europeesche Lagere School (ELS). Lulus dari ELS, Syahrir melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu mengambil jurusan Barat Klasik di Algemene Middelbare School (AMS), yang diharapkan Sjarhrir muda menjadi jaksa seperti ayahnya. Pada tahun 1929, ia melanjutkan studinya di Belanda, namun studinya tidak teratur, karena lebih menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan klub mahasiswa sosial demokrat Belanda, De Socialist. Sjahrir memiliki banyak teman termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka mengundangnya berpesta. Ia mahir dalam berdansa waltz, fox trot, dan Charleston. “Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci adalah paham imperialisme dan kolonialismenya. Kemudian studinya pun tidak selesai karena pada tahun 1931 ia dipanggil Hatta sebagai sahabat tua untuk bergabung dalam organisasi politik yang secara mendadak untuk kembali ke Indonesia.
Sjahrir 22 tahun, mengalah untuk menuruti seniornya Mohammad Hatta yang berumur 29 tahun, untuk bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya De Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universteit van Amsterdam, ia akan pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi di Universteit Rotterdam yang sudah 9 tahun di Belanda. Kembalinya Hatta dan Sjahrir dipicu keadaan genting akibat Soekarno dan tokoh PNI banyak ditangkapi oleh Belanda. Situasi demikian bisa menyiratkan sinyal menyurutkan kaum muda Indonesia untuk berjuang.
Nasionalisme Hatta dan Syahrir memang sudah menjadi tokoh utama di kalangan nasionalis. Selain paham ini tumbuh akibat keadaan politik Indonesia sebagai negara terjajah oleh kolonialisme, semangat ini tumbuh oleh pidato Dr. Cipto Mangunkusumo. Dua tokoh Sjahrir dan Hatta menghidupkan kembali PNI yang sempat “mati suri” pada kongres di Bandung, Juni 1932, Hatta sebagai ketua, dan Sjahrir sebagai wakilnya. Namun gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI baru justru lebih radikal, daripada PNI Soekarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa adanya aksi massa dan agitasi, organisasi PNI Hatta dan Sjarir menjadi organisasi mendidik kader-kader pergerakan. Akibat pergerakannya yang radikal, pada Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dua tokoh ini dibuang ke Boven Digul Papua. Beruntung dia tidak lama tinggal di Boven Digul, karena pemerintah Belanda tidak ingin tokoh ini mendapat tekanan keras akibat penanahannya. Sebab akan menimbulkan masalah kemudian hari, kritik sudah tentu bermunculan. 2 Januari 1936, tokoh ini pindah ke Banda Neira Maluku, tapi penahannya lebih layak dan manusiawi.
Syahrir baru bebas setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Ia dan tokoh lainnya didesak melanjutkan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia melalui gerakan perlawanan di bawah tanah. Setelah Indonesia merdeka, Syahrir menduduki jabatan perdana menteri pada Kabinet Parlementer sampai tahun 1946. Pada saat itu, kemerdekaan RI belum diakui karena dianggap oleh Sekutu sebagai pemberian Jepang. Oleh karena itu Syahrir memilih jalan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Menurut Syahrir, menggelar perjanjian dengan Belanda memiliki keuntungan politis untuk memperoleh pengakuan kekuasaan de facto. Perjanjian Linggarjati yang dikecam oleh beberapa tokoh bangsa seperti Tan Malaka, dapat memberi keuntungan bagi Indonesia karena berkat pasal arbitrase yang ia tambahkan pada perjanjian tersebut Indonesia diakui PBB. Syahrir pun mulai mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional seperti pada Konferensi Asia.
Setelah kemerdekaan Indonesia benar-benar diakui oleh Belanda, namun ia tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia dan melanjutkan pendidikan kader demi memajukan bangsa. Namun, Syahrir gagal dalam pemilihan 1955 karena partainya hanya meraih lima kursi di DPR. Kegagalan itu menyebabkan ia kehilangan kesempatan untuk terjun kembali dalam pemerintahan. Pada tahun 1960, atas tuduhan gerakan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), PSI dibubarkan dan Sutan Syahrir ditangkap. Gerakan pemberontakan ini sebenarnya dilakukan oleh Sumitro (Ayah Mantan Jenderal Prabowo Subianto yang sekarang menjadi Ketua Umum Gerindra), dan pemberontakannya bukanlah prakarsa Syahrir. Tapi meninggal 6 tahun kemudian, masih sebagai tahanan politik.
Syahrir menaruh minat pada pemikiran sosialisme, namun dalam sejarah Indonesia Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal, dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan rakyat. Ini terlihat pada aktivitasnya pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Hal ini membuat ia dapat mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat. Sementara liberalisme terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Dalam melakukan perjuangan kemerdakaan dan turut serta memimpin Indonesia, Syahrir meyakini ideologi sosialisme demokrasi mampu membangkitkan dan sebagai jalan tepat bagi rakyat Indonesia. Ia menjunjung tinggi kepentingan rakyat dengan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia. Dengan alasan itulah ia tidak bertumpu pada model pembangunan komunis seperti di Rusia dan Cina. Syahrir mengkritisi komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan. Ia melihat bahwa kaum komunis telah menghancurkan semangat nasionalisme, walaupun mereka dituntun oleh ajaran Lenin dan Stalin tentang perjuangan kelas dan kesusilaan kelas. Syahrir ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bersifat adil dan merata. Ia berupaya menghilangkan bentuk penindasan terhadap buruh dengan memperjuangkan nasib buruh melalui partai yang didirikannya pada tahun 1948, Partai Sosialis Indonesia.
Menurut Syahrir, paham sosialisme yang ia yakini untuk mencapai kesejahteraan rakyat sejalan dengan adanya demokrasi. Pada tulisannya yang berjudul Perdjoeangan Kita, ia menyatakan bahwa untuk membina kekuatan Indonesia, revolusi kerakyatan atau revolusi sosial harus dilaksanakan agar pimpinan politik tidak dikuasai oleh orang-orang yang berpikiran feodal. Feodalisme dianggap dapat bersekutu dengan fasisme yang hanya akan menghambat demokratisasi negara. Saat menjadi perdana menteri pada tahun 1945, Syahrir mengambil kebijakan untuk mengubah sistem presidensial dengan sistem parlementer. Melalui sistem parlementer yang menghadirkan wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, Syahrir berharap partisipasi rakyat bisa maksimal dan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Ia pun memfungsikan aparat negara seperti polisi dan petugas agrarian untuk mempertegas sistem demokrasi.
Sosialisme dan demokrasi yang diyakini Syahrir juga mementingkan aspek rasionalitas. Tampaknya aspek ini sejalan dengan anggapan Syahrir tentang pengutamaan pendidikan. Rasionalitas berarti berpikir dan bertindak sesuai hukum akal budi. Rasionalitas berkaitan dengan cara berpikir yang menjauhkan perasaan dan emosi, walaupun itu tidak berarti perasaan harus dihapuskan secara total. Emosi yang perlu dihindari terbatas pada perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai kebutuhan perjuangan. Dengan rasionalitas, seseorang dapat memberikan penilaian pada situasi yang sedang dihadapinya dengan tepat, sehingga ia dapat mengambil tindakan yang sesuai. Pengembangan rasionalitas menurutnya dihambat oleh feodalisme dan mistik. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilaksanakan agar feodalisme dapat diberantas dan demokrasi berdiri kokoh.
Pemikiran Syahrir dan sikap-sikap politiknya memang berorientasikan Barat. Pengalaman studinya di Belanda telah membuatnya berkembang di iklim Barat. Syahrir cenderung menyukai kehidupan Barat yang dinamis dan bergelora. Baginya, kedinamisan itulah yang dibutuhkan bagi Timur untuk melepaskan diri dari imperialisme. Menurutnya, gambaran Timur yang tenang dan harmonis, seperti yang dilihat oleh orang-orang Buddhis tidaklah sesuai kenyataan. Hong Kong, Shanghai dan Batavia misalnya, tempat-tempat tersebut telah dipengaruhi gaya hidup Barat yang mendesak maju. Dengan kata lain, Syahrir menganggap masyarakat Timur seperti Indonesia perlu melakukan modernisasi.
Sebagai elit politik, Sutan Syahrir berusaha membentuk suatu masyarakat politik dengan mengutamakan pendidikan. Pemikirannya ia sebarkan melalui media massa dan ia wujudkan melalui PSI. Semasa menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir mengembangkan sistem demokrasi politik untuk memperjuangkan ideologi sosialisme demokrasinya. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif masing-masing berfungsi dan kedudukan yang satu bebas dari yang lain. Partai-partai politik bebas untuk mengemukakan pendapat karena merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Syahrir juga menyadari bahwa kesenjangan masyarakat dapat menghambat demokrasi politik. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan, salah satunya dengan gerakan memperjuangkan buruh dan melindungi hak-hak individu dari tirani negara.
Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Namun Sjahrir sempat dikritisi oleh anggota partainya perihal keputusannya untuk menjadikan PSI sebagai partai kader sehingga tidak dapat bersaing dengan partai massa seperti Partindo pimpinan Soekarno. Ia menjawab bahwa partai tidak memerlukan banyak anggota karena dibandingkan jumlah massa yang banyak, Syahrir lebih mementingkan kualitas kadernya yang militan, dapat menguasai keadaan dan memahami teori-teori perjuangan. Pendidikan kader yang Syahrir utamakan bertujuan untuk mempersiapkan manusia-manusia arif yang dapat memutar roda kehidupan, yang dapat memimpin Indonesia dengan baik.
Dalam kaidah ilmu pengetahuan mengenai kenegaraan, pencapaian cita-cita akan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, tanpa eksploitasi manusia dan sumber daya alam seperti yang tersirat dan tersurat di dalam konstitusi, hanya dapat diwujudkan melalui sebuah jalan yang disebut sosialisme. Kedaulatan rakyat tanpa sosialisme tidak akan dapat mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan sosialisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, yang berarti masih terdapat penindasan manusia. Dengan kata lain, sosialisme menekankan dan memperjuangkan demokrasi di segala bidang kehidupan masyarakat, sebagai prakondisi terciptanya masyarakat sosialis yang sejahtera dan berdaulat penuh. Dalam konteks ini, demokrasi politik adalah pintu masuk ke arah pengembangan demokrasi di bidang lain yang lebih mendasar sifatnya, seperti demokrasi ekonomi dan demokrasi pendidikan.
Membangun masyarakat sosialis suatu bangsa harus diletakkan pada konteks historisnya, berdasarkan situasi riil yang dihadapi dan sangat tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat suatu bangsa. Seperti yang sering dikatakan para pemikir sosialis di dunia, tidak ada model yang baku dalam mengimplementasikan sosialisme di setiap Negara, yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik dan kultur. Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam kultur dan karakter geografis yang unik. Sejarah panjang bangsa yang hidup di bumi Indonesia ini terdiri dari banyak kebudayaan dan etnis yang beragam. Kebudayaan-kebudayaan tersebut tumbuh dalam sistem monarki yang antara lain berbasis Hinduisme, sedikit Buddhisme, animisme dan agama Islam, yang tersebar di seluruh kepulauan dalam teritori Indonesia.
Berkembangnya sosialisme di Eropa pada mulanya adalah merupakan gerakan buruh, yang muncul akibat terjadinya penindasan masyarakat kelas dominan atau pemodal terhadap masyarakat kelas pekerja. Sedangkan sosialisme di Indonesia tumbuh dalam masyarakat feudal yang kurang dapat menerima ide pertentangan kelas. Munculnya sosialisme di Indonesia adalah lahirnya perlawanan kepada sejarah feudalisme dan birokrasi feudal yang diciptakan pada era kolonial. Faktor kebudayaan yang cenderung feudal dalam karakter Bangsa Indonesia menyebabkan masyarakat justru terbiasa dengan struktur masyarakat dengan kelas bertingkat, dan oleh karenanya tidak mampu menyerap substansi ajaran sosialisme Marxis yang mengedepankan pertentangan kelas. Walaupun demi pencapaian cita-cita bangsa ini tetap memerlukan proses revolusi diktum nilai-nilai secara kognitif, namun untuk mengakomodir karakteristik rakyatnya, Indonesia perlu mengembangkan sistem sosialisme sendiri yang berpihak pada kerakyatan dan kemanusiaan.
Dari kondisi-kondisi tersebut, nyata terlihat bahwa prioritas obyek awal revolusi di Indonesia adalah kesadaran manusia-manusia yang menjadi rakyatnya. Kesadaran ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk berpikir secara rasional, kritis dan berdaulat. Yaitu kedaulatan di semua bidang kehidupan, kesamaan kesempatan serta kedudukan bagi seluruh rakyat, dan mengedepankan hak-hak rakyat di atas segala kepentingan golongan atau individu. Dalam hal ini, terlihat perlunya penegasan bahwa sosialisme yang paling ideal bagi karakteristik dan psikografis rakyat Indonesia adalah sosialisme yang berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa memandang perbedaan suku, agama atau kelas social, yang oleh Soetan Sjahrir disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Kerakyatan di sini mengandung makna perjuangan mengangkat nasib, martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat.
Mengacu kepada hal-hal tersebut, maka Negara sebagai pembawa cita-cita Sosialisme Kerakyatan harus mampu mengakomodir dinamika masyarakat dan mengharmonisasikan sosio-diversifikasi yang ada di dalamnya. Fungsi Negara sebagai perangkat institusi yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dalam mencapai cita-cita bersama, harus juga peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah sesuai perkembangan jaman dan teknologi. Untuk tujuan tersebut, sudah sewajarnya jika Negara Republik Indonesia yang membawa cita-cita kesejahteraan dari segenap rakyatnya harus dipimpin oleh Pimpinan yang mampu merepresentasikan setiap golongan atau kepentingan tanpa kecuali, dan lahir dari kelompok-kelompok terbaik dalam masyarakat sosialis. Para Pimpinan tersebut harus tersusun dalam sebuah sistem yang menjamin terlaksananya desentralisasi pemerintahan agar dapat mewakili setiap kepentingan daerah secara merata, dan terpilih oleh rakyat yang berdaulat.
Namun pada perkembangan selama 66 tahun sejak Indonesia diproklamirkan, kondisi Negara saat ini telah melenceng jauh dari cita-cita pendiriannya. Di era globalisasi saat ini, Indonesia hanyut terombang-ambing dalam tarik-menarik hegemoni politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina sebagai pemeran utama baru di panggung dunia. Analisa kronologi mengenai hilangnya kedaulatan tersebut dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah sentralistik Indonesia yang kekuasaannya sangat besar, lebih memilih pendekatan jalan pintas dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Langkah ini selain membawa pertumbuhan ekonomi yang semu, juga mengantarkan Indonesia ke tangan imperialisme model baru berbasis neoliberalisme. Akibatnya, sebagai kompensasi dari pertolongan tangan-tangan neoliberalisme asing yang hanya untuk kepentingan sesaat, kedaulatan rakyat Indonesia di berbagai bidang tergadaikan. Konsekuensi logis berikutnya adalah adanya belenggu kapital dan kepentingan penguasa yang dengan ketat membatasi peningkatan kualitas pemahaman dan pemerataan wawasan demokrasi dan sosialisme dalam masyarakat dengan segala cara, demi mempertahankan stabilitas kekuasaan tersebut.
Kondisi ini telah menempatkan Indonesia pada posisi tanpa daya tawar dan tanpa daya kompetitif dalam arus deras globalisasi yang masuk dari segala pintu yang terbuka lebar. Indonesia tidak mampu memanfaatkan kondisi geopolitiknya untuk mengambil posisi tawar. Kuantitas impor yang semakin hari semakin meningkat, selain menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap Negara lain, juga menghilangkan kemampuan dan potensi produksi nasional. Di sisi lain, kekuasaan Pemerintah yang dibangun oleh sekelompok elit di masyarakat semakin menguat. Dukungan dari kepentingan neoliberalis asing dibelakang Pemerintah berhasil membangun hegemoni kekuasaan yang semakin menguat. Hegemoni yang dibangun dengan cara merasuk ke alam bawah sadar mayoritas rakyat, dan memaksa rakyat secara halus untuk menerima nilai-nilai moral, politik, prinsip ekonomi, etika dan budaya, melalui cara yang sistematis. Salah satu cara yang ditempuh adalah sistem formalisme yang melahirkan para pemegang titel dan melahirkan kelompok rakyat informal dalam masyarakat. Formalisme oleh Negara adalah satu bentuk imperialisme yang berbahaya.
Sementara intelektual saat ini terjebak dalam upaya untuk menyamakan antara realitas bangsa Indonesia dengan negeri lain, dan tidak melakukan upaya serius untuk mengidentifikasi karakteristik realitas nasional dan situasi konkret di dalam negeri, golongan mayoritas yang terdiri dari kalangan rakyat informal telah kehilangan kepercayaannya pada sistem kapitalis liberal yang diterapkan Negara. Mereka tidak lagi percaya kepada kalangan intelektual yang kerap mengacu pada praktik masa lalu untuk menjawab atau menyelesaikan tuntutan praktis di masa sekarang, dan kelompok ini sudah hampir sampai di ujung kesabarannya. Di sisi lain, kelompok masyarakat informal yang sederhana ini kurang menyukai pendekatan ilmiah dan kurang minat terhadap ilmu pengetahuan, sehingga mereka terjebak dalam situasi sulit tanpa solusi. Kelompok pembawa kepentingan modal sangat memahami hal ini, dan mereka mampu mengambil keuntungan secara optimal dari kurangnya wawasan masyarakat informal tersebut untuk kemudian memarjinalkan kelompok mayoritas tersebut dari percaturan ekonomi dan politik.
Ironinya, kelompok masyarakat pekerja informal ini adalah pelaku utama dalam perekonomian yang semakin vital perannya, karena jumlah pekerja formal atau buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri modern. Saat ini, jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari keseluruhan pekerja. Sedangkan pekerja di sektor manufaktur tidak melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21 juta orang atau 52,65 persen dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah Sekolah Dasar. Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas untuk meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Akibatnya, rakyat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Sementara Negara mendorong de-industrialisasi dengan mendorong sebagian besar usaha ekonomi untuk bergerak pada sektor informal dan Usaha Kecil Menengah yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan ekonomi keluarga ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri modern.
Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi masyarakat informal. Semangat kerakyatan yang dibawa dalam konstitusi Negara tertutup dengan besarnya kepentingan sekelompok masyarakat elit yang didukung oleh kepentingan asing yang lebih besar. Sistem formalisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok kepentingan Neoliberal itu nyata-nyata sangat bertentangan dengan semangat kerakyatan yang di cita-citakan Negara di awal pendiriannya. Sistem ini membawa semangat buruk sangka terhadap rakyatnya sendiri, dan mengutamakan kepentingan pemodal diatas segalanya, serta cenderung memposisikan rakyat hanya sebagai obyek pertumbuhan modal, ketimbang subyek pembangunan Negara. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan kecil, terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari para pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian dalam skala kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas menengah. Golongan rakyat informal inilah yang paling menderita akibat penyelewengan cita-cita Negara oleh sekelompok elit pembawa kepentingan pemodal serta aparat politikusnya.
Kelompok elit pemodal ini menguasai kelompok-kelompok lain seperti politikus, militer, organisasi masyarakat, sampai jajaran pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu mereka dengan mudah memproteksi kepentingan dan modalnya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berindikasi anti-rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi salah-satu cita-cita utama berdirinya Negara ini pun dapat dengan mudah digerus oleh mereka melalui hegemoni di segala bidang. Sektor yang dikuasai pemodal seperti politik, industri informasi, industri teknologi, sistem pemerintahan daerah, sampai ke industri mikro, membuat rakyat semakin sulit melepaskan ketergantungannya terhadap para pemodal tersebut. Apa yang telah nyata menjadi penyelewengan cita-cita bangsa ini adalah terjadinya industrialisasi pendidikan, industrialisasi kesehatan, industrialisasi keamanan, bahkan semakin jelas mengarah ke industrialisasi agama dan lain-lain kebutuhan yang menjadi hak asasi manusia. Namun dengan cerdiknya mereka mampu mempertahankan keberpihakan kelas menengah dengan segala cara, demi kestabilan ekonomi dan politiknya. Cara-cara yang ditempuh seringkali adalah pembodohan, penyanderaan masa depan, dan lain-lain cara yang membuat ketergantungan kelas menengah terhadap pembawa kepentingan modal tersebut sulit dihilangkan. Jalan bagi rakyat untuk mendapatkan kembali kedaulatannya telah ditutup dengan rapi dan sistematis.
Dalam kondisi ini, revolusi social pun seperti bukan solusi yang tepat. Fakta sejarah mengenai beberapa kali revolusi yang terjadi di masa lalu, memperlihatkan kegagalan substansial yang terjadi. Revolusi hanya mampu mengganti struktur pemerintahan, tetapi tidak mampu memberi solusi dari permasalahan utama, yaitu adanya sistem yang menggerakkan arus modal dan kepentingan segelintir elit untuk berkuasa di negeri ini. Faktor mendasar yang selama ini terjadi adalah kurangnya pemahaman dan wawasan di masyarakat mengenai arah dan proses pencapaian tujuan bangsa yang di cita-citakan. Reaksi masyarakat yang didorong oleh emosi sesaat hanya mampu mendorong terjadinya revolusi yang hanya merubah struktur, namun gagal mengganti sistem karena kurangnya ilmu dan wawasan. Apa yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998 adalah contoh kongkrit bahwa diperlukan lebih dari sekedar revolusi fisik yang bergelora untuk menahan arus kepentingan modal, yang sebetulnya menjadi inti permasalahan. Peristiwa sejarah tersebut juga memberikan contoh kasus sempurna, bahwa perjuangan tidak cukup dengan semangat saja, tapi haruslah dilaksanakan dengan cerdas dan berintegritas.
Apakah masyarakat harus mengubur cita-cita yang dicanangkan diawal berdirinya Negara ini? Tentunya tidak! Pertama-tama harus disadari bahwa perjuangan mencapai tujuan tersebut lebih membutuhkan suatu kesabaran revolusioner daripada sebuah revolusi fisik. Tetapi jika diperlukan, revolusi fisik tidak ditabukan. Hanya persiapan kondisi subyektif masyarakat haruslah matang dan benar-benar siap mengambil alih jalannya pemerintahan yang benar-benar terputus dari jaringan arus modal. Rakyat haruslah dipersiapkan untuk mengisi situasi pasca revolusi dengan konsep kenegaraan yang ideal, dan para wakil-wakil rakyat yang diusung untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan haruslah muncul dari kalangan rakyat itu sendiri, dan bersih dari pengaruh kepentingan modal. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksudkan adalah keseluruhan rakyat dari segenap pelosok negeri.
Bagaimana jalannya proses pengkondisian subyek dan obyek revolusi yang sesuai konsep kerakyatan itulah yang harus menjadi aspirasi dan semangat masyarakat. Aspirasi dan semangat rakyat tersebut harus dibawa dalam sebuah wadah yang tepat, yaitu wadah yang benar-benar memberikan komitmen 100 persen bagi berlangsungnya jalan Sosialisme Kerakyatan, yang saat ini telah nyata sebagai satu-satunya jalan ideal dalam proses meraih cita-cita kesejahteraan bangsa ini. Beberapa tahapan ideal dalam situasi dan kondisi yang berkembang saat ini mensyaratkan bentuk gerakan yang sistematis, terpola dan massif namun terkoordinir. Tahapan yang ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat secara massif untuk kembali mengusung cita-cita kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, seperti yang dicanangkan diawal berdirinya Negara.
Tahapan awal yang harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses kristalisasi gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader Sosialisme Kerakyatan yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di setiap entitas yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang nantinya akan dilatih untuk memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan, Kemandirian, Integritas, Militansi dan berkarakter Problem Solver serta memiliki visi Negarawan.
Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan formalitas ekonomi yang ada dengan memberdayakan sector informal dan membangun bisnis-bisnis jaringan, yang nantinya juga akan menjadi pendukung operasional gerakan. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah yang berkaitan dengan lingkungan, sesuai dengan visi rakyat sosialis yang tidak menghendaki eksploitasi manusia dan sumber daya alam. Gagasan-gagasan seperti desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir pantai atau pembangunan reactor mikro hidro untuk penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut akan dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan perlunya perhatian tarhadap lingkungan, sebagai antisipasi perubahan iklim yang semakin menggejala.
Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang timbul akibat aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang berdasarkan kerakyatan. Pengupayaan hal tersebut selain memperluas sebaran pemahaman sosialistis dalam masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang bersumber dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah lembaga pengkajian ilmiah yang membahas permasalahan social dangan pendekatan Sosialisme Kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari sekelompok pemikir intelektual yang bertugas menggali serta mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang timbul akibat gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian tersebut selain di carikan jalan pengimplementasiannya, juga diterbitkan dalam bentuk tabloid, yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh negeri.
Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah siap dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke organisasi-organisasi masyarakat di daerahnya. Mereka akan mensosialisasikan gagasan Sosialisme Kerakyatan dan membuat wacana-wacana solusi yang diperlukan oleh setiap daerahnya masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan kualitas masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan social yang mungkin terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari perputaran bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan beberapa bagian keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis yang baru, melalui komunitas masyarakat yang di pilih oleh Kader-Kader yang diterjunkan di organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang paling ideal adalah sebuah lembaga keuangan mikro, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat organisasi masyarakat itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera Barat adalah pilihan yang ideal.
Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang focus kepada penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya adalah membangun sekolah-sekolah lanjutan yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap daerah. Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus mendapatkan akses pemberitaan di media masa local di setiap daerahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membutuhkan sebuah wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri, yang dikhususkan untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka pembentukan organisasi badan hukum seperti yayasan atau koperasi akan diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan tersebut.
Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara demokratis, tanpa revolusi fisik. Kondisi yang dimaksud adalah melemahnya Negara-Negara pemain utama dunia, dan berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki kesadaran serta wawasan yang cukup akan memiliki juga kekuatan politik yang signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu Pemerintahan yang melindungi segenap rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan NKRI ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi negara sebagai kontrak sosial institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan rakyatnya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada dasarnya bertumpu kepada konsep Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut dengan demokrasi. Baik dalam hal politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati para pendiri untuk ditempuh oleh Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ketika mendirikan Negara ini, semangat para pendiri adalah menumbuhkan demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas kolektif untuk merdeka dan keutamaan partisipasi politik rakyat yang jauh dari sistem ekonomi kapitalisme. Semangat Negara untuk berperan aktif, tidak saja dalam wilayah politik namun juga sosial ekonomi untuk memenuhi hajat hidup warganegaranya.
Definisi demokrasi politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu kepada suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merujuk kepada definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem ekonomi, dimana permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan untuk rakyat, dan karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan. Secara umum, demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya ekonomi, aspek tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum pekerja dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara Kesatuan ini, maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah sebuah sebutan bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat didalamnya, berdasarkan kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.
Pandangan Politik pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.
Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional.
Pikiran Sjahrir dan Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.
Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua.
Partai Sosialis Indonesia bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Kejatuhan Sjahrir memang adanya percekcokan dengan Presiden Soekarno sejak lama, selain berbeda pemikiran kepentingan keduanya memang sangat jelas dalam kekuasaan. Puncak keretakan terjadi awal 1962, terjadi penangkapan terhadap Sjahrir yang dianggap melakukan teror alias melakukan separatisme dengan Soemitro. Dengan penahanannya kondisi fisik Sjahrir merosot, dan harus berobat ke Zurich Swiss pertengahan 1965. namun kesehatannya terus memburuk dan wafat pada 9 April 1966 di Swiss jauh dari Tanah Air dan rakyatnya yang berusaha dibelanya. Dia meninggal dalam kesepian dan kesendirian. namun perjuangannya tetap dikenal sebagai tokoh nasional yang tetap diperhitungkan.
Selain berseteru dengan Soekarno, Sjahrir juga berseteru dengan Panglima Jenderal Soedirman. Perseteruan itu terjadi karena membaca pamflet Perdjoeangan Kita, sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima hari sebelum menjadi Perdana Menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama “menyingkirkan semua kolaborator Jepang”.
Seodirman tersinggung karena PETA yang dipimpinnya merupakan bentukan Jepang. “pertanyaan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan kalangan PETA”. Kata Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik”. “Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijakan sendiri”. Sejak saat itu perseteruan Soedirman-Sjahrir tak terelakkan, kemudian Soedirman bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Menjadi penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Dan mendesak Soekarno untuk memecatnya.
Soedirman menanggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi, karena diplomasi politiknya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan pada wilayah Jawa dan Madura saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Soedirman, mestinya Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh Indonesia setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik. Oposisi mengeras karena Soekarno dan Hatta lebih condong jalan Sjahrir. Orang persatuan perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan politik Sjahrir dari jauh. Dan saling tangkappun terjadi, Soedirman yang terpengaruh kelompok radikal menangkap Sjahrir, kemudian Tan Malaka pun ditangkap oleh tentara yang pro Soekarno.
Tapi Sjarir tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar diplomasi Perjanjian Renville, Linggarjati, dan Konferensi Meja Bundar. Para penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih lama bercokol di Indonesia. Sementara bagi pendukungnya, Sjahrir dianggap sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional.
Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.
Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya.
Demikianlah Sutan Syahrir, seorang bung kecil yang telah memberikan kontribusi besar bagi modernisasi politik di Indonesia meski hanya dalam waktu yang singkat. Pemikiran sosialisme demokrasinya yang pada masa revolusi nasional berlawanan dengan ideologi Soekarno, dapat diterapkan pada kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Tentu saja dengan disertai langkah-langkah perbaikan seperti menggalang kekuataan massa dan lebih menekankan nilai persatuan dan loyalitas nasional untuk mengubah gejala pluralitas dari kelemahan menjadi kelebihan.