Biografi Ibn Taimiyah - Ibn Taimiyah
memiliki nama lengkap Abu Abbas Ahmad bin Abd Halim bin Abd al-Salam Abdullah
bin Muhammad bin Taimiyah. Ia lahir di Harran, Syria pada hari senin 10 Rabiul
Awal tahun 661 H/22 Januari 1263 M. dan wafat di Damaskus pada malam senin, 20
Zulkaidah 728 H/26 September 1328 M.
Ibn Taimiyah lahir
dari sebuah keluarga terpelajar dan sangat Islami serta dihormati dan disegani
oleh masyarakat luas pada zamannya. Ayahnya, Syihab al-Din Abdul Halim ibn Abd
as-Salam, adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid
Agung Damaskus. Kakeknya, syekh Majd ad-Din Abi al-Barakat Abd as-salam ibn Abd
Allah juga seorang 'alim terkenal yang ahli tafsir, ahli hadis, ahli
ushul fiqh, ahli nahwu, dan pengarang. Pamannya dari pihak bapak, Syaraf ad-Din
Abd Allah ibn Abd al-Halim adalah seorang cendekiawan Muslim populer dan
pengarang yang produktif pada masanya. Sedangkan adik laki-lakinya ternyata
juga dikenal sebagai ilmuan Muslim yang ahli dalam bidang kewarisan Islam,
ilmu-ilmu hadis dan ilmu pasti.
Di samping belajar
dan berguru kepada ayah dan pamannya, Ibn Taimiyah juga belajar kepada sejumlah
ulama terkemuka seperti Syams ad-Din Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad
al-Maqdisi, seorang faqih ternama dan hakim agung pertama dari kalangan
mazhab Hambali di Syria, Muhammad ibn Abd al-Qawi ibn Badran al-Maqdisi
al-Mardawi, seorang muhaddis, faqih, nahwiyy, dan mufti serta
pengarang terpandang pada masanya, al-Manja' ibn Usman ibn asy-Syaibani. Selain
itu, Ibn Taimiyah juga berguru kepada Zainab binti Makki al-Harrani, Syekh
Syams ad-Din al-Asfihani asy-Syafi'i, Abd ar-Rahim ibn Muhammad al-Bagdadi, dan
sejumlah ulama lain, baik yang terbilang kecil maupun tergolong besar, yang
jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang.
Pada masa Ibn
Taimiyah hidup, Islam sedang mengalami kemunduran. Di sebelah Timur, kaum
Muslimin dikalahkan dan dihancurekan tentara Mongol, dan di sebelah Barat
mereka akhirnya terusir dari Spanyol. Akibatnya banyak kaum cerdik pandai
mengungsi ke negeri-negeri yang lebih aman seperti ke Kairo dan Damaskus.
Termasuk yang mengungsi adalah keluarga Ibn Taimiyah. Di Damaskus, keluarga Ibn
Taimiyah kemudian menjadi tokoh-tokoh terkemuka karena pengabdian mereka kepada
ilmu pengetahuan Islam.
Setelah menguasai
ilmu yang memadai, bahkan lebih dari itu, Ibn Taimiyah, yang telah menjadi mufti
sejak sebelum berumur 20 tahun itu, mengabdikan ilmunya demi kepentingan Islam
dan umat penganutnya. Sewaktu ayahnya wafat pada tahun 682 H/1284 M., ia yang
waktu itu belum menamatkan studi formalnya dalam usia 21 tahun, menggantikan
jabatan penting ayahnya sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Syukkariyah.
Selain itu, Ibn Taimiyah juga harus menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru
besar hadis dan fiqh Hambali di beberapa madrasah terkenal yang ada di
Damaskus. Mulai dari sinilah karir Ibn Taimiyah selalu meningkat dari tahun ke
tahun, sejak dari 'alim kelas lokal dan kemudian nasional sampai
akhirnya menjadi ulama besar yang berkaliber regional dan bahkan internasional.
Dalam hal keagamaan,
pada masa Ibn Taimiyah terdapat empat mazhab fiqh besar yang dijadikan rujukan
umat Islam dan sudah sangat established, yaitu mazhab Maliki, Hanafi,
Syafi'i, dan mazhab Hambali. Dalam hal teologi, paham al-Asy'ari dan
al-Maturidi sangat mendominasi. Pada masa itu pula, muncul banyak tokoh-tokoh
mistik dengan akrobatik-akrobatik spiritual mereka yang terlampau yakin dengan
penafsiran bid'ah mereka, taqlid mutlak di dalam masalah-masalah
kepercayaan, di dalam metode pemahaman, dan di dalam menerima hukum-hukum
syari'ah beserta kesimpulan-kesimpulannya. Dalam kondisi yang demikian Ibn
Taimiyah mengumandangkan kebebasan berijtihad, dan anjuran untuk kembali kepada
al-Qur'an, sunnah dan praktik-praktik as-salaf as-salih. Oleh sebab itu,
maka konflik tidak bisa dihindarkan dengan para penentang-penentangnya yang
tidak sepaham dengannya dan merasa terancam eksistensinya.
Konflik awal dalam
masalah keagamaan antara Ibn Taimiyah dan para penentangnya adalah ketika
orang-orang Hamah meminta pendapat (fatwa) nya mengenai sifat-sifat
Allah yang disebutkan di dalam al-Qur'an. Ibn Taimiyah memberikan jawaban dalam
bentuk risalah yang berjudul ar-Risalah al-Hamawiyah. Risalah inilah
yang memicu protes para fuqaha yang diketuai Qadhi Jalaluddin dari
mazhab Hanafi di Damaskus. Ibn Taimiyah dihadapkan kepada para hakim dan ahli
hukum terkemuka untuk mempertanggungjawabkan fatwa tersebut. Terjadilah
perdebatan sengit yang akhirnya dimenangkan oleh Ibn Taimiyah. Peristiwa ini
merupakan awal dari konflik intelektual yang seru di kemudian hari.
Sementara awal
keterlibatan Ibn Taimiyah dalam masalah politik adalah ketika ia memprotes
keras keputusan pemerintah (Gubernur Siria) yang tidak menjatuhkan hukuman mati
kepada Assaf an-Nasrani, seorang Kristen berkebangsaan Suwayda', padahal Assaf
telah menghina Nabi Muhammad saw. Hanya karena Assaf mau memeluk agama Islam
ketimbang dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibn Taimiyah, siapapun yang telah
menghina Rasulullah, tidak peduli ia Muslim atau bukan, harus dihukum mati.
Karena protes dan sikap tegasnya itu akhirnya Ibn Taimiyah harus meringkuk di
dalam penjara 'Adrawiyyah di Damaskus.
Walhasil, sesungguhnya dalam
diri Ibn Taimiyah terkumpul kualitas manusia unggul seperti mujaddid,
seorang egalitarianisme radikal, orator dan agitator ulung, dan panglima yang
gagah berani. Hanya saja sikapnya yang menentang arus membuatnya banyak
'dimusuhi' oleh ulama-ulama lainnya. Menurut Qomaruddin Khan alasan utama
munculnya tantangan terhadap pendapat-pendapat Ibn Taimiyah terutama sekali
karena ia tidak dapat mengendalikan amarahnya, sering mengucapkan kata-kata
yang pedas, dan bertekad akan menyerang musuh-musuhnya, meskipun menurut Khan,
sifat Ibn Taimiyah tersebut lebih disebabkan polemik-polemik yang menyakitkan
hatinya.
Melihat sepak
terjang dan pemikiran-pemikirannya seyogyanya Ibn Taimiyah sangat populer di kalangan
umat Islam seluruhnya, sejajar dengan tokoh-tokoh Muslim lain yang sangat
populer seperti al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain sebagainya. Tapi
kenapa Ibn Taimiyah tidak sepopuler yang semestinya? Tampaknya di antara
sebab-sebab yang membuat ia tidak setenar yang seharusnya adalah Ibn Taimiyah
tergolong profil ulama dengan gaya pemikiran dan tulisan yang amat polemis,
pendapatnya sangat kontroversial dan selalu menentang arus utama, di samping
itu, ia juga merupakan tokoh aktiivis sosial dan kegamaan yang radikal dengan
pikiran-poikiran orisinal yang pada masanya sukar atau belum waktunya bisa
dipahami oleh umum.
Daftar Bacaan:
Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam,
Jakarta: INIS, 1991.
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford-Dunia Islam Modern, penerj.
Eva Y.N., Femmy Syahrani, Jarot W., Poerwanto, Rofik S., cet. 1. Bandung:
Mizan, 2001.
Hamadah, Abdul Ghani, Fadh al-Dzakirin wa al-Raddu 'Ala al-Munkirin.
Suria: t.p., 1971.
Katsir, Ibn, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid IX juz 14. Beirut Lebanon:
Dar al-Fikr, t.th.
Khan, Qomaruddin, The Political Thought of Ibn Taimiyah, 2nd
edition. Pakistan: Islamic Research Institute, 1985.
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghazali dan Ibn
Taimiyah, cet. 1. Surabaya: Bina Ilmu, 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran , Sejarah dan Pemikiran,
edisi 5. Jakarta: UI Press, 1993.
Taimiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlahi al-Ra'i wa al-Ra'iyyah,
cet. 2. Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1951.
---------, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi'ah wa
al-Qadariyah, jilid 1. Kairo: Maktabah Dar al-'Urubat, 1962.
---------, Majmu' Rasail, al-Hisbah. Kairo: t.tp., 1323.
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon