Showing posts with label Teori Ilmu Politik. Show all posts
Showing posts with label Teori Ilmu Politik. Show all posts

Saturday, October 21, 2017

Materi Kuliah Ekonomi Politik dan Globalisasi

Lahirnya istilah globalisasi sebenarnya merupakan bentuk penyempurnaan dari perdagangan yang berlangsung tanpa ada batas, atau lebih dalam adalah bentuk pencarian dari rasa ego manusia untuk menikmati kehidupan duniawi ini dengan lebih familiar. Jika konsep globalisasi dihubungkan dengan investasi maka ini jelas sangat berdekatan. Sementara jika kita menarik catatan sejarah masa lalu maka globalisasi pada dasarnya sudah dimulai sejak beratus tahun yang lalu.
Kisah ini dimulai dari petualangan seorang lelaki yang ingin melakukan penjelajahan dunia, telah mengantarkan Christopher Columbus yang bernama asli Cristobal Colon untuk melakukan ekspedisi ke India pada tanggal 3 Agustus 1493 dengan bendera Santa Maria, dimana ia berangkat dari pelabuhan Polos, Spanyol dan kembali tanggal 15 Maret tahun 1494. Dapat juga kita kaji tentang kisah perjalanan Vasco da Gama pada tanggal 8 Juli 1497dan kembali lagi di bulan September 1499 di Lisabon, Portugal. Perjalanan mereka berdua ini boleh jadi sebagai babak awal pencatatan sejarah tentang dimulainya globalisasi dunia.
Mungkin sejarah telah mencatat bahwa perjalanan Vasco da Gama membuktikan bagaimana perjalanan saat mulai meninggalkan Tanjung Harapan, ekspedisi berlayar ke India dan sampai ke Kalikut dimana pada tempat tersebut, Vasco da Gama menemukan banyak sekali rempah-rempah yang sangat menguntungkan untuk dijual di pasar Eropa. Selanjutnya dimulailah pengangkutan rempah-rempah tersebut melalui pelabuhan Alexandria menuju Venezia.
Maka tidak heran jika kaum anti globalisasi mengatakan  bahwa globalisasi merupakan kata lain dari penjajahan negara maju pada negara berkembang atau terbelakang dengan model dan wajah baru. Jika kita bandingkan dengan masa eksploitasi negara Asia Afrika oleh bangsa kulit putih (barat) pada era dibawah tahun 1940-an.
Globalisasi dan Posisi Indonesia
Saat ini bisa dikatakan seluruh negara di dunia ini telah mendengar dan merasakan dampak globalisasi. Salah satu yang mempercepat proses globlisasi tersebut adalah jaringan dan perkembangan media komunikasi yang digunakan saat ini. Integrasi, interkoneksi dan bahkan interdependensi (Keohane Dan Nye: 1977) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi lintas negara. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa tanpa adanya teknologi komunikasi, maka tidak ada pasar-pasar global sebagaiman aadanya sekarang.
Disisi lain, bahwa konsep komunikasi telah berperan membentuk format model pembangunan ekonomi dan politik di suatu negara dan tidak terkecuali Indonesia yang dapat dikatakan sebagai negara yang sangat open mind dalam memahami globalisasi. Indonesia di mata internasional memiliki pengaruh besar, dan posisi Indonesia sejak jaman dulu hingga sekarang dianggap sebagai negara dengan potensi besar, baik dari segi sumber daya alam hingga sumber daya manusia. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika globalisasi telah menyeret Indonesia lebih dalam untuk terlibat disana, terutama dengan sikap Indonesia yang begitu terbuka terhadap produk asing dengan sikap Indonesia yang begitu terbuka terhadap produk asing dengan kata lain big market for many product.
Globalisasi telah melahirkan peluang dan tantangan pada negara Indonesia, diamna setiap peluang  dan tantangan tersebut telah masuk ke berbagai bidang, dimana semua itu harus dilihat dan disikapi secara penuh kedewasaan. Peluang dan tantangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Bidang Politik
  2. Demokrasi menjadi sistem politik di Indonesia yang berintikan kebebasan mengemukakan pendapat.
  3. Politik luar negeri yang bebas aktif.
  4. Melakukan sistem pemerintahan yang baik (good governance) dengan prinsip partisipasi, transparasi, rule of law, responsive, serta efektif dan efisien.
  5. Bidang Ekonomi
  6. Dan kestabilan ekonomi makro dengan menstabilkan nilai tukar rupiah dan suku bunga.
  7. Menyediakan lembaga-lembaga ekonomi yang modern (perbankan, pasar modal, dan lain-lain).
  8. Mengeksploitasi sumber daya alam secara proporsional.
  9. Bidang Sosial-Budaya
  10. Meningkatkan sumber daya manusia, yaitu kompetensi dan komitmen melalui demokratisasi pendidikan.
  11. Penguasaan ilmu dan teknologi serta mengaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat.
  12. Menyusun kode etik profesi yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.
Setiap tantangan dan peluang tersebut disusun perencanaan yang bersifat mengapresiasi dan mengarah ke pembangunan bangsa. Amerika bisa dikatakan negara yang membentuk mempercepat terbentuknya proses globalisasi tersebut, dan semua ini dimulai konsepnya pasca Perang Dunia II. Saat ini memang amerika dianggap sebagai negara super power atau polisi dunia. Pengaruh politik dan ekonomi mereka di pentas dunia telah diakui di berbagai pihak. Ini tercermin berbagai data ekspansi bisnis perusahaan yang berasal dari Amerika, bahkan produsen penjualan senjata di dunia juga dikuasai oleh perusahaan Amerika. Dalam konteks ini posisi Indonesia dianggap oleh pengamat politik dalam dan luar negeri telah ikut memainkan perannya. Indonesia  termasuk negara yang sulit diintervensi, artinya independensi negara Indonesia dapat dianggap sangat independen.

Pengertian Konstitusiona dan Hak Kunstitusional

Konstitusionalisme merupakan pemikiran yang menghendaki pembatasan kekuasaan. Constitutionalism is a belief in imposition of restrains on government by means of a constitution
Konstitusioalisme adalah suatu keyakinan yang menghendaki pembatasan terhadap pemerintah melalui sebuah konstitusi.
Sebagai sebuah konsensus nasional, konstitusi yang juga merupakan produk politik telah menjadi pegangan dan acuan penyelenggaraan negara. Amandemen UUD Negara RI 1945 pada 1999-2002 semakin menegaskan paham konstitusional Negara RI.
Konstitusionalisme adalah paham penyelenggaraan negara yang berdasarkan konstitusi. Seluruh konsensus nasional Indonesia diikat dalam UUD Negara RI 1945.
Menurut Mc Ilwan, ada dua unsur fundamental dari paham konstitusionalisme, yaitu batas-batas hukum terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan pertanggungjawaban politik sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah
Meskipun ide konstitusionalisme berasal dari Barat tetapi pada perkembangannya ternyata dapat diterima hampir di seluruh dunia. Pengaruh Barat yang sering dianggap tidak sesuai dengan masyarakat setempat sehingga dianggap sebagai pengaruh negatif tidak berlaku untuk ide konstitusionalisme.
Menurut Abdulkadir Besar Konstitusionalisme merupakan komponen intergral dari pemerintahan demokratik. Tanpa memberlakukan konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan demokratik tidak mungkin terwujud.
Konstitusionalisme menurutnya memiliki dua arti yakni konstitusionalisme atri-statik dan arti-dinamik. konstitusionalisme artri-statik berkenaan dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusi yang meskipun bersifat normatif tetapi berkwalifikasi sebagai konsep dalam keadaan diam yang diinginkan untuk diwujukan.
Paham Konstitusionalisme dalam arti-statik yang terkandung dalam konstitusi, mengungkapkan bahwa konstitusi itu merupakan kontrak sosial yang didasari oleh ex ante pactum (perjanjian yang ada sebelumnya).
Sedangkan konstitusionalisme dalam arti-dinamik rumusannya bersifat partikal, menunjukan interaksi antar komponennya, tidak sekedar rumusan yang bersifat yuridik normatif.
Tetapi menurut Abdul Kadirbesar baik konstitusionalisme arti-dinamik bukanlah pengganti dari konstitusionalisme dalam arti-statik. Tiap konstitusi dari negara demokratik niscahaya mengandung konsep konstitusionalisme dalam arti-statik yang jenis pembatasannya berbentuk konsep keorganisasian negara dan ia merupakan salah satu komponen dari konstitusionalisme dalam arti-dinamik. Hal ini bererarti di dalam konstitusionalisme dalam arti-dinamik dengan sendirinya mencakup konstitusionalisme dalam arti-statik
Pasca-amandemen, Konstitusi RI juga telah semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara konstitusional, dimana seluruh praktik penyelenggaraan negara harus tunduk dan patuh pada konstitusi. Amandemen juga secara normatif telah mengadopsi sebagian besar hak asasi manusia yang sebelumnya dicibir sebagai nilai dan norma impor yang resisten. Kini, nilai dan norma hak asasi manusia telah menjadi bagian integral hak-hak konstitusional warga negara. Adopsi jaminan hak asasi manusia dalam UUD Negara RI 1945 merupakan elemen terpenting dalam paham konstitusional Indonesia.
Norma-norma hak asasi manusia yang terhimpun dalam hukum internasional HAM seperti Kovenan Internasional Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta sejumlah konvensi HAM lainnya saat ini telah menjadi bagian dari produk hukum nasional melalui proses ratifikasi dan (semestinya) diikuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Pilihan politik ratifikasi dua kovenan induk dan sejumlah konvensi HAM, secara politik dan normatif telah memperkuat komitmen nasional pada penegakan HAM. Langkah politik ini pula telah sejalan dengan adopsi jaminan-jaminan hak yang ada di dalam UUD Negara RI 1945. Dengan demikian, sejatinya pula resistensi terhadap norma-norma HAM bisa dikikis karena norma-norma itu telah ditransformasikan ke dalam hak-hak konstitusional warga.
Louis Henkin (2000) menyatakan bahwa konstitusionalisme memi-liki elemen-elemen sebagai berikut:
¨pemerintah berdasarkan konstitusi (government according to the constitution );
¨Pemisahan kekuasaan (separation of power );
¨Kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis (sovereignty of the people and democratic government );
¨Review atas konstitusi (constitutional review );
¨Independensi kekuasaan kehakiman (independent judiciary );
¨Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited government subject to a bill of individual rights );
¨Pengawasan atas kepolisian (controlling the police );
¨Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military ); and
¨Kekuasaan negara yang dibatasi oleh konstitusi (no state power, or very limited and strictly circumscribed state power, to suspend the operation of some parts of, or the entire, constitution ).
Konsensus dalam Konstitusionalisme
1.Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of goverment)
2.Kesepakatan  tentang The Rule of Law  sebagai landasan pemerintahan (the basic of government)
3.Kesepakatan tentang bentuk konstitusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institution and prosedures)
Hak Konstitusional
Sekalipun masih terbatas, Konstitusi RI telah menyediakan mekanisme yang justiciable dan enforceable bagi penegakan hak asasi manusia yang telah ditransformasikan menjadi hak konstitusional warga. Melalui MK, setiap warga negara yang dilanggar haknya oleh keberadaan sebuah UU dapat mempersoalkannya sehingga hak itu bisa kembali dinikmati. Demikian juga ketika sebuah peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan lain-lain diyakini bertentangan dengan Konstitusi, warga negara dapat mempersoalkannya ke Mahkamah Agung.
Peristiwa-peristiwa yang menimpa warga negara dan di dalamnya terkandung pelanggaran hak konstitusional, warga negara seharusnya bisa mempersoalkannya melalui mekanisme constitutional complaint ke MK. Selain melalui kepatuhan para penyelenggara negara untuk memproduksi berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta bertindak memberikan pelayanan publik, inilah jalan yang sebenarnya bagaimana seharusnya hak-hak konstitusional warga negara ditegakkan. Jalan ini pula yang dipahami dari karaker perdata, negara versus warga negara, dari produk hukum internasional HAM.
Hanya saja, terkait dengan pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah UU yang menjadi kewenangan MA, selama ini telah gagal menjadi sarana penegakan hak konstitusional warga karena selain hanya uji soal legalitas formal, MA juga tidak memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas peraturan tersebut. Demikian juga terkait dengan constitutional complaint, secara normatif MK tidak diberi mandat untuk menyelesaikan soal ini.
Peringatan Hari Konstitusi dan rencana MPR RI yang mengamandemen kembali UUD Negara RI 1945 bisa menjadi kombinasi spirit dan peluang untuk menegaskan mekanisme-mekanisme penegakan hak konstitusional warga negara. Mengalihkan kewenangan uji materiil atas semua produk peraturan perundang-undangan ke MK jelas merupakan kebutuhan, karena selain MA yang gagal, yang utama adalah bahwa produk-produk hukum itu bukan saja cacat legal tapi juga mengidap soal konstitusional. Sementara menambah peran MK dengan kewenangan menyelesaikan perkaraconstitutional complaint adalah keniscayaan dari adopsi dari jaminan-jaminan konstitusional dalam Konstitusi RI.
Doktrin living constitution bukan saja membuka ruang koreksi dan evaluasi atas konstitusi tapi juga memastikan bagaimana konstitusi itu peka terhadap dinamika berbangsa dan bernegara. Berpikir bagaimana memastikan Konstitusi RI menjadi pelindung dan pemberdaya warga negara adalah refleksi kritis konstruktif di tengah perayaan Hari Konstitusi

Wednesday, May 24, 2017

Partai Politik Pasca Reformasi

Partai politik pasca reformasi antara disalignment dan realignment


Tesis ini mengentara pasca Pileg 2014 kemarin. Kendati hanya berdasar rata-rata hasil quick-count dari 4 lembaga survei (terlampir), kelihatan bahwa posisi mereka semua mendatar. Tidak satu pun partai punya boarding-pass 25% agar bisa prerogatif mengusung capres-cawapres sendiri. Mereka semua harus negosiasi, baik dengan 1 atau lebih parpol lain guna mengusung kandidat kepala eksekutif negara 2014-2019. Hampir seluruh parpol harus mengadaptasi bentuk mereka menjadi "catch-all" party. Bentuk ini agar meluaskan spektrum pemilih agar suara mereka tidak mau jadi menyusut di pileg 2019 nanti. 


Disalignment dan Realignment

Kembali ke judul tulisan. Disalignment dan realignment adalah konsep yang di antaranya bisa ditemukan dalam tulisan Charles S. Mack dalam bukunya "When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment" yang terbit tahun 2010 lalu. Mack mengaji fenomena disalignment dan realignment yang menimpa Whig Party (AS), Liberal Party (Inggris), dan Progressive Conservative Party (Kanada). Dalam tulisannya, Mack mendefinisikan disalignment sebagai: "A severe loss of support for a major political party among its core base voters."[1] Sementara itu, realignment didefinisikannya sebagai "A substantial, persistent, and pervasive transfer of support among medial voters from one major party to another."

Menurut Mack, suatu partai politik akan mengalami disalignment apabila ia kehilangan dukungan dari para pemilih yang menjadi basis partai tersebut. Misalnya, kalangan Nahdliyin pedesaan di Jawa Timur tidak lagi mau memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau aktivis tarbiyah yang meningggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di setiap pemilu. Sementara itu, realignment adalah suatu kondisi dengan mana terjadi transfer dukungan dari pemilih suatu partai ke partai lainnya. Misalnya, para pemilih Partai Amanat Nasional mengalihkan dukungan kepada PKS atau para pendukunga Partai Demokrat lebih memilih Partai Gerindra di suatu pemilu. Fenomena "perpindahan" dukungan adalah suatu hal yang mengentara baik pada disalignment maupun realignment

Konsep kunci dalam kedua fenomena tersebut (disalignment dan realignment) adalah voter (pemilih dalam pemilu). Kategori pemilih dalam kedua peristiwa tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu core base voter (CBV), medial voter (MV), dan peripheral base voters (PBV). [2] CBV adalah suatu segment pemilih yang terbiasa dan normalnya selalu memilih para kandidat dari suatu partai tertentu, terkadang tidak peduli siapa kandidat yang partai itu tawarkan di setiap pemilu. Para CBV inilah yang sesungguhnya membuat suatu partai selalu memeroleh kursi di setiap pemilu. Kegagalan partai dalam memelihara CBV ini pula yang membuat suatu partai politik bangkrut suaranya. MV adalah para pemilih yang menjadi subyek yang potensial untuk ditarik oleh kandidat suatu partai karena mereka sesungguhnya bukan CBVpartai manapun. PBV adalah seperti CBV tetapi lebih kritis karena mereka sewaktu-waktu dapat berpindah pilihan ke partai lain apabila menurut mereka partai yang biasa mereka pilih melakukan suatu pengabaian. 

Baik peristiwa disalignment dan realignment maupun karakteristik pemilih yaitu CBV, MV, dan PBV, seluruhnya membuat konstelasi stabilitas partai politik ibarat terus ada di ujung tanduk. Tidak ada jaminan resmi bahwa hasil di Pileg 2014 adalah serupa dengan Pileg 2019. Tidak ada jaminan bahwa CBV suatu partai politik akan terus menjadi CBV tanpa pernah beranjak menjadi PBV


Disalignment Partai Politik

Mengapa partai politik bisa mengalami disalignment? Mack menginventarisasi sejumlah faktor selaku variabel bebas yang membuat partai politik mengalami peristiwa ini. Variabel-variabel tersebut adalah: 

  1. Gagalnya kepemimpinan
  2. Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional
  3. Alienasi partai atas CBV
  4. Adanya partai(atau partai-partai) alternatif
  • Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP)
  • Gagalnya kepemimpinan. Gagalnya kepemimpinan partai politik dicurigai menjadi sumber dari disalignment partai tersebut dari pemilu ke pemilu. Gagalnya kepemimpinan ini dapat dilihat dari terjadinya kondisi ketika elit partai salah melakukan penilaian atas posisi dirinya saat diperhadapkan dengan konstituen dan konfigurasi kekuatan partai-partai secara aktual. Aneka korupsi yang dilakukan elit partai adalah salah satu dari gejala ini. Juga, inkompetensi elit (dan para kandidat partai) misalnya dalam melontarkan statement, mengatasi konflik internal partai, pembangunan aspirasi di level grass-root, eksklusivitas elit, merupakan ragam hal yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Gagalnya kepemimpinan ini bahkan semakin jelas di era informasi yang terbuka. Para CBV dapat mengamati dan mengevaluasi perilaku elit partai lewat blog, twitter, facebook, bbm, dan social media lain selain tentu saja televisi. Selain karena alamiah dilakukan elit partai, gagalnya kepemimpinan juga dapat di-framing secara sengaja oleh lawan politiknya dari partai lain karena punya kekuatan media.

    Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional. Hal ini berkaitan dengan pengambilan posisi aktual partai atas isu-isu nasional dan identitas CBV diperhadapkan dengan posisi elit. Para CBV merasa bahwa mereka telah selesai dalam mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik. Posisi partai politik diasumsikan telah fix sehingga CBV merasa aman dengan pilihannya. Namun, akibat dinamisasi perpolitikan dalam skala nasional dan global, partai terkadang harus mengambil posisi berbeda dengan pendirian konservatifnya. Apabila ini terjadi, CBV akan mempertanyakan hal tersebut dan apabila jawaban memuaskan tidak diperoleh, mereka akan mulai merasa diasingkan oleh partai.

    Alienasi partai atas CBV. Situasi alienasi dapat dikatakan sebagai perulangan dua penyebab pertama, yang semakin intens, sehingga CBV seolah tidak memiliki kaitan afeksi lagi dengan partai. Dalam kondisi alienasi ini, CBV mungkin saja mulai bertransformasi menjadi PBV. Situasi CBV menjadi "galau" dan di titik inilah partai kompetitor mulai menyuguhkan diri mereka sebagai "pelipur lara." Atau, dapat saja CBV sama sekali menjadi apolitis dan ia pun bertransformasi menjadi MV. Mereka terombang-ambing, mengambang, dan baru menentukan pilihan apabila kepercayaan mereka kepada politik telah kembali.

    Adanya partai(atau partai-partai) alternatif. Kendati pun CBV telah menjadi MVataupun PBV, jarangkali mereka menaruh pilihan kepada partai lain dengan melintasi garis ideologis. Mereka umumnya "menyeberang" ke partai lain yang memiliki ideologi sama kendati "gerbongnya" berbeda. Seorang CBV partai berbasis agama, yang mengaitkan pilihan politik dengan kesalehan agama, akan sulit menyeberangkan pilihan mereka kepada partai lain yang berbasiskan sekularitas. Hal yang demikian pun dapat terjadi sebaliknya. Pada variabel keempat ini, situasi disalignment mulai mengental.

    Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP). Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem kepartaian dwi-partai seperti Inggris, Kanada, Australia, ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak menganut FPP dalam mekanisme Pileg. Namun, ini bukan berarti sistem proporsional tidak rentang mengakibatkan disalignment terhadap partai. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan selanjutnya.


    Belajar dari Empat Pileg

    Analisis selanjutnya diketengahkan berdasarkan 4 Pileg yang diselenggarakan 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil tersebut dapatlah kiranya gambaran mengenai disalignment lebih terjelaskan.

    Data untuk pileg 1999, 2004, 2009, dan 2014 diambil dari KPU.

    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. PDIP memeroleh suara 33,74% di pileg 1999, kemudian turun menjadi 18,31% di pileg 2004, terus turun di pileg 2009 menjadi 14,01%, untuk kembali naik menjadi 18,95% di pileg 2014. Apakah terjadi disalignment atas PDIP? Jawabannya adalah jelas apabila diletakkan dalam rentang 1999 hingga 2009, yaitu dari 33,74% menjdi 14,01. Suara partai tersebut turun lebih dari setengahnya sejak 1999. Suara tersebut bahkan turun dari 2004 ke 2009 selama masa partai menjadi menjadi oposisi pemerintah. Pemulihan baru terjadi dari 2009 ke 2014 di mana partai ini naik dari 14,01% menjadi 18,95%. Lalu, apa yang bisa dikatakan kepada PDIP ini.

    Pertama, apabila mundur ke determinan historis, PDIP adalah representasi dari PNI tahun 1955. Basis konstituen (CBV) partai PDIP sulit untuk dikatakan berasal dari luar partai ini. Di Pileg 1955, PNI berhasil memeroleh 22,32% sementara untuk Konstituante 23,97%. Apabila didasarkan pada asumsi tersebut, pada suara 33,74% di pileg 1999 terkesan agak berlebihan. CBV PDIP maksimal memang berada di sekitar 20%-an suara nasional. Pernyataan ini membawa dampak pada pernyataan selanjutnya: Disalignment terjadi pada PDIP sejak 2004, 2009 dan baru sedikit pulih pada 2014.

    Kedua, elit partai di PDIP kurang berhasil bertindak selaku perekat CBV karena hanya mengandalkan trah Sukarno, yaitu Megawati S.P. (juga almarhum Taufik Kiemas). Kerja suatu partai politik tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan orang per orang sehingga menihilkan peran partai sebagai sebuah organisasi. Baru lah ketika PDIP melakukan kaderisasi di luar trah, seperti misalnya memroyeksikan elit-elit baru seperti Tri Rismaharini, Teras Narang, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Widodo, ataupun Ganjar Pranowo, para CBV kembali bisa diyakinkan bahwa partai sesungguhnya memikirkan nasib mereka. Juga, ideologi yang diemban oleh tokoh-tokoh tadi tidak jauh dari ideologi yang juga ada di benak para CBV : Nasionalisme dengan tidak berpatokan pada disiplin agama tertentu.

    Ketiga, fenomena anjloknya CBV PDIP dari 1999 hingga 2009 juga akibat terciptanya image bahwa PDIP berdiri di posisi "kapitalis" sehubungan isu-iso salah satu segmen PDIP yang cukup luas: Buruh dan tani. Isu keberpihakan Megawati atas outsourcing dan penjualan aset kepada asing merupakan dua isu yang menghempas para CBV sehingga mereka teralienasi dari melirik partai lain untk dipercayakan aspirasi mereka. Terlebih kini para CBV memiliki pilihan yaitu Partai Gerindra yang secara ideologi tidaklah berbeda jauh dengan PDIP yang mana mereka bersedia menjadi pilihan pengganti PDIP.

    Partai Golkar. Partai Golkar adalah dominator dalam setiap pemilu Orde Baru, sejak 1971 hingga 1997. Begitu diadakah pemilu demokratis pertam 1999, suaranya anjlok menjadi 22,44%. Kendati ia menempati peringkat ke-2, dapat dipastikan bahwa partai ini sekedar memiliki CBV di kisaran 20%-an pemilih. Di Pileg 2004 suaranya turun menjadi 21,62%, terus turun di 2009 menjadi 14,45% dan stagnan-cenderung naik menjadi 14,75% di 2014. Pemilih Golkar di tiap-tiap pileg Orde Baru, kendati selalu mayoritas, ternyata bukanlah melukiskan CBV yang sebenarnya. Pemilih terbesar mereka di masa-masa tersebut kiranya hanya merupakan MV, dan ini ditunjukkan secara kuat pada pileg 1999: Dari 60%-an suara mereka di pileg 1997 segera anjlok menjadi 22,44% dan terus turun di masa-masa kemudian.

    Disalignment benar-benar terjadi pada PG. Mayoritas pemilih mereka di Orde Baru adalah MV, yang "terpaksa" memilih partai ini karena sejumlah alasan. Pileg 1999 pun bukanlah menunjukkan siapa CBV mereka. Di antara 22,44% pemilih mereka di 1999 masihlah terdapat PBV. Ini segera ditunjukkan di Pileg 2004 di mana suara mereka menyusut 0,82%. Dilanjutkan dengan penyusutan sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Seperti dalam teori disalignment, faktor gagalnya elit mengentara di keanjlokan 2004 ke 2009 ini. Kepemimpinan PG pecah antara kubu Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Surya Paloh kemudian dikenal mengembangkan gerakan sosial Nasional Demokrat, Kalla fokus pada organisasi di luar PG (Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia), sementara Bakrie yang mengandalkan kekuatan finansial dan medianya memimpin PG yang kini kurang padu. Pemilih PG mengalami alienasi dan mereka yang mengalami hal ini benar-benar siap menransformasikan suara mereka kepada partai lain.

    Disalignment PG di antaranya juga disebabkan berdirinya Partai Demokrat (PD). PD yang sejak Pileg 2004 sudah ikut serta diduga menjadi muara pemilih PG yang sudah menjadi PBV. Para pengikut Hayono Isman dan Susilo Bambang Yudhoyono kemungkinan besar masuk ke gerbong baru ini. Gagalnya elit PG dalam distribusi kekuasaan pun kian memermanensi dugaan CBV partai ini yang sekadar di kisaran 14% terkait perolehan suara mereka di Pileg 2014. Ini ditunjukkan dengan hadirnya 2 partai baru yang difigurisasi oleh bekas tokoh senior PG seperti Prabowo (Partai Gerindra/PGIR) dan Wiranto (Partai Hanura/PHNR). Kehadiran 2 partai inilah yang membuat PG benar-benar memiliki sekadar PBV di Pileg 2004. Banyak dari antara PBV ini yang dengan mudahlah menyeberang ke PGIR dan PHNR. Pileg 2014 tidak lebih sekadar membuktikan kecenderungan-kecenderungan ini secara lebih lanjut.

    Partai Persatuan Pembangunan. PPP adalah partai fusi, yaitu dari partai-partai berbasis Islam yang dikompres oleh Orde Baru menjadi 1 partai Islam tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (pewaris Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah menjadi pembangunnya. Dengan demikian, sejak awalnya, pemilih PPP adalah perpaduan dari CBV dan PBV yang cukup menarik. Di selama pileg Orde Baru, PPP mengalami efek depolitisasi dari pemerintah. Para pendukung partai Islam, untuk sebagian, memilih PPP sebagai pilihan minimal. Banyak pula di antara pemilih Islam yang melabuhkan suara mereka di partai korporatis PG.

    Suara PPP cenderung stabil sejak Orde Baru hingga Pileg 1999 dengan posisi 10,71% suara. Namun, posisi pendukung partai Islam memiliki sejumlah kesempatan untuk menerjemahkan pilihan politik mereka secara lebih asertif. Hadir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasiskan kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berbasisnya ormas Muhammadiyah, dan Partai Keadilan (PK) yang berbasiskan kalangan pergerakan Tarbiyah dan revivalis Islam internasional. Kemunculan PK, PKB, dan PAN ini mendorong pemilih Islam untuk lebih tegas memosisikan sikap Islam dan hidup politik mereka. PBV di tubuh PPP pun segera melabuhkan pilihan mereka ke ketiga partai tersebut, sementara CBV mereka menetap di PPP. Akibatnya, suara PPP menyusut sebesar 2,55% dari Pileg 1999 ke 2004. Untuk kemudian menyusut lagi sebesar 2,83% dari Pileg 2004 ke 2009.

    Seperti telah diketahui, sesungguhnya PPP sendiri memiliki basis-basis pemilih yang berlainan di dalam tubuhnya. Dapat diprediksi bahwa kalangan NU di tubuh PPP berlabuh ke PKB, kalangan Muhammadiyah, PSII, dan Perti berlabuh ke PK(S) dan PAN. Kemungkinan juga banyak di antara PBV di tubuh PPP berlabuh ke partai-partai nasionalis yang mengiklankan diri sebagai juga religius (misalnya PD). Kini, CBV PPP dapat dikatakan sekadar berisikan 5 - 6% suara nasional. Hal ini pun dengan sejumlah catatan bahwa PPP benar-benar dapat mengendalikan konflik internal di dalam partai yang sesungguhnya memiliki CBV yang berasal dari basis berbeda.

    Partai Kebangkitan Bangsa. PKB seharusnya menjadi labuhan partai NU yang berkembangan sejak tahun 1952 dan NU yang serupa yang difusikan Orde Baru tahun 1971. Pada Pileg 1955 partai Nahdlatul Ulama menguasai 18,71% suara nasional, sementara pada Pileg 1971 menguasai 18,68% suara. Sebagai partai, NU dahulunya dapat dikatakan memiliki CBV yang cukup "tulen." Basis mereka adalah para santri di wilayah pedesaan (terutama Jawa Tengah dan Timur). Suara NU cukup stabil di periode 1955 hingga 1971.

    Manakala fusi dilakukan sejak 1971, kalangan NU seperti kehilangan pakem politik nasional. Para pemilihnya kemudian berubah menjadi MVhampir di sepanjang masa Orde Baru: Ada di antara mereka yang melabuhkan suara ke PG maupun PPP (mungkin juga bisa ke PDI, kendati kurang kuat). Di kedua partai tersebut, para pendukung NU sekadar bersifat MV.

    Menjelang Pileg 1999 berdirilah PKB dimotori tokoh NU Abdurrahman Wahid (cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU). Berbondong-bondong kaum Nahdliyin menuntaskan rindu-rendam mereka dalam politik nasional Indonesia. PKB langsung meraup suara sebesar 12,61% sekalig menempatkan dirinya sebagai pemenang ke-3 Pileg 1999. Dapatlah dikatakan bahwa suara ini memang sungguh-sungguh berasal dari CBV kalangan NU. Namun, PKB ternyata memiliki "rasa" berbeda dengan Partai NU, karena khittah 1984 menyatakan NU keluar dari arena politik. Namun, hengkangnya NU dari politik (sebagai partai) masih kurang dirasakan para CBV partai NU dahulu. Mereka tetap yakin bahwa PKB adalah partai NU itu sendiri. Hal ini ternyata tidak seperti diharapkan.

    NU adalah salah satu aliran yang berkembang jauh sebelum reformasi 1998 terjadi. NU adalah pernyataan tegas kesalehan Islam versi masyarakat tradisional Islam di Indonesia. NU (kalangan Nahdliyin-nya) memegang saham cukup besar dalam peralihan politik dari kolonial ke kemerdekaan dan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai kekuatan politik, NU adalah kekuatan yang mandiri. Kemandirian ini dirasakan masih harus terdapat di PKB.

    Ternyata, PKB bukanlah partai NU. Bentuk-bentuk pernyataan Islam yang tegas (versi NU) sulit diperoleh pada PKB. PKB lebih bernuansakan partai nasionalis dan sedikit sekuler. Akibatnya, para CBV NU merasa kegamangan sehubungan dengan pernyataan tegas kesalehan Islam ini. Hal ini kemudian terbukti berkurangnya suara PKB sebesar 2% dari 1999 ke 2004 dan 5,66% dari 2004 ke 2009. Sepanjang 2004 ke 2009, PKB dilanda konflik elit antara kubu Abdurrahman Wahid versus Muhaimin Iskandar. Dan bukan itu saja, kerindungan kalangan Nahdliyin akan kesalehan Islam yang lebih tegas disediakan oleh sebuah partai lain: Partai Keadilan Sejahtera. Banyak di antara tokoh-tokoh NU yang cukup simpatik terhadap PKS ini (misalnya Nurmahmudi Ismail dan kawan-kawan).

    Akibatnya, para pendukung PKB (yang Nahdliyin) lekas menransformasikan diri mereka menjadi PBV dan melabuhkan suara mereka kepada PKS. Partai yang belakangan ini banyak mengelola basis-basis tradisional kalangan Nahdliyin seperti lembaga pendidikan dan masjid-masjid. Melonjaknya suara PKS dari 1999 (ketika masih PK) ke 2004 dan 2009 di antara dapat dilacak pada fenomena ini.

    Begitu para tokoh NU di dalam PKB menjadi waspada, lekas mereka lakukan reorganisasi para CBV NU. Hal ini menghasilkan suara PKB yang mulai pulih di Pileg 2014 dari 4,95% (pileg 2009) menjadi 9,04% (pileg 2014). Perolehan suara PKB di Pileg 2014 menunjukkan kecenderungan realignment ini.

    Partai Amanat Nasional. PAN sulit untuk tidak dikatakan sebagai sama sekali lepas dari ormas Muhammadiyah. Logo matahari PAN, kendati tanpa kaligrafi, adalah mirip dengan logo Muhammadiyah. Tokoh-tokoh PAN pun seperti M. Amien Rais atau Hatta Rajasa adalah bagian dari Muhammadiyah.

    Dalam sejarah politik Indonesia, Muhammadiyah adalah gerakan sosial yang fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. Gerakan ini menjaga diri terhadap politik kendati membebaskan para anggota untuk memilih gerbong-gerbong politik yang sesuai. Dalam aliran politik, Muhammadiyah adalah representasi kalangan modernis, dengan basis utama pencaharian selaku pedagang di kota-kota (urban). Dengan demikian, aspirasi politik kalangan ini lebih dekat kepada Masyumi (dahulu) dan reinkarnasinya Parmusi di era awal Orde Baru.

    Dengan demikian, kendati perlu lebih diteliti, pada CBV Parmusi di Pileg 1971 adalah sebagiannya berasal dari para pendukung Muhammadiyah. Suara Parmusi di Pileg 1971 sebesar 5,36%. Di Pileg 1999, PAN memeroleh suara sebesar 7,12% dan memosisikan dirinya sebagai 4 besar Pileg. Suara PAN di Pileg 1999 ini seharusnya dapat lebih bertambah apabila para pemilih Masyumi, PSII, atau PUI melabuhkan suara mereka ke partai Islam modernis ini.

    Namun, serupa seperti PKB, PAN sendiri tidak memilih bentuk tegas sebagai representasi Muhammadiyah di dalam politik nasional. Posisi ini mendorong para berkurangnya suara partai sebesar 0,71% dari 1999 ke 2004, dan sebesar 0,38% dari 2004 ke 2009. Bahkan, suara PAN naik sebesar 1,56% dari 2009 ke 2014. Jumlah suara mereka di 2014 juga dapat dikatakan naik bahkan jika diperbandingkan dengan 1999 yaitu sebesar 0,47%.

    Disalignment PAN serupa dengan yang dialami PKB di sepanjang Pileg 2004 dan 2009 kendati lebih kurang signifikan dibanding PKB. Melihat dari suara mereka sejak 1999 hingga 2014, PAN cenderung dapat memelihara CBV mereka. CBV mereka yang berubah menjadi PBV jauh lebih kecil ketimbang di kalangan PKB. Pelacakan PBV dari PAN sama seperti PKB, dapat dilacak pada munculnya PKS sebagai muara PBV partai-partai Islam.

    Partai Demokrat. PD adalah sebuah partai catch-all. Fokusnya pada pemenangan Pemilu. Partai ini tumbuh sebagian besarnya dapat dilacak pada gagalnya kepemimpinan elit di tubuh PG. Terdapat organisasi sayap dan para bekas tokoh Golkar yang ikut memerkuat PD baik di masa awal pembentukan hingga selanjutnya.

    Turunnya suara Golkar, terutama dari 2004 ke 2009, salah satunya dapat dilacak pada semakin stabilnya PD ini. Seperti diketahui sebelumnya, suara PG turun sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Di sisi lain, suara PD cukup signifikan yaitu 7,46% begitu ikut Pileg 2004. Suara ini bahkan jauh naiknya dari 2004 (7,46%) menjadi 20,81% di Pileg 2009. Dari manakah suara PD berasal?

    Sesuai dengan bentuk PD yaitu sebagai catch-all party, ia memanfaatkan MV yang berkeliaran menjadi pemilih PDIP, PG, PPP, PKB, dan PAN. Signifikansi suara PD hingga 20,81% untuk kemudian "terjun bebas" secara drastis menjadi 10,19% di Pileg 2014 mengindikasikan banyaknya pemilih MV di PD. CBV PD bukanlah pemilih true believer melainkan sekadar MV yang melihat Pileg sebagai suatu kepentingan an sich. PD relatif lebih mudah mengalami disalignment ketimbang PG, dengan mana ini dapat dilihat pada perolehan suara mereka yang fluktuatifnya lebih tinggi ketimbang PG.

    PK dan PKS. Partai Keadilan (PK) adalah debutan baru di Pileg 1999. Namun, sejarah mereka adalah sejarah gerakan tarbiyah di perguruan-perguruan tinggi yang berkelindan dengan isu revivalisme Islam global. PK menawarkan kehausan kalangan Islam "santri" akan partai Islam yang lebih tegas perjuangannya dalam nuansa kesalehan agama. PK kemudian berubah nama (juga metamorfosis organisasional) di Pileg 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di Pileg tersebut, PKS mampu menaikkan suara PK dari sekadar 1,36% di Pileg 1999 menjadi 7,20% di Pileg 2004. Dalam konteks ini, PKS tentu tidak mengalami dealigment sama sekali.

    Bahkan, suara PKS stabil-cenderung naik dari 2004 ke 2009. PKS memunculkan diri sebagai "genre" baru partai politik berbasis Islam yang lebih tegas. Dalam Pileg 2004, ketika PPP, PKB, dan PAN mengalami penurunan suara, PKS justru bertahan-cenderung naik. Juga, seperti telah dibahas sebelumnya, PKS memanfaatkan para PBV yang melingkari PPP, PKB, dan PAN. Ada kemungkinan bahwa kini, para PBV tersebut telah beralih menjadi CBV-nya PKS. Hal ini terungkap lewat suara PKS di Pileg 2014, yang kendatipun turun dari 2009 sebesar 1,10%, tetapi tidaklah signifikan. PKS tidak seperti PD yang fluktuatif dan cenderung punya MV yang besar. PKS kini siap berdiri sebagai salah satu pilihan politik umat Islam sejajar dengan PKB, PAN, dan PPP.

    Fenomena PKS sulit untuk dimasukkan ke dalam gejala disalignment melainkan realignment. Kendati dapat saja PKS mengambil para PBV di PPP, PAN, dan PKB, sesungguhnya PKS kini telah membentuk CBV mereka sendiri. CBV ini merupakan khas karena mewakili generasi baru umat Islam yang terbuka atas isu-isu Islam di level global. Selain itu, PKS cenderung memiliki CBV yang kuat di perguruan-perguruan tinggi, kalangan intelektual, dan gerakan sosial yang bersifat akar rumput. Di masa mendatang, dapat diprediksi bahwa CBV PKS akan tetap stabil apabila tidak bisa dikatakan akan menaik.

    Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Gerakan Indonesia Raya (PGIR) adalah partai debutan baru. Ia baru ikut Pileg pertama kali tahun 2009. Fenomena munculnya PGIR hampir mirip dengan PD. Dimotori bekas tokoh PG (Prabowo), PGIR langsung memeroleh suara 4,46% di Pileg 2009. Hasil ini cukup lumayah mengingat bahkan PKB hanya memeroleh suara 4,95% di Pileg ini.

    Secara ideologi, tentu sulit apabila dikatakan bahwa PGIR langsung memiliki CBV. Namun, dapat dilacak hilangnya suara PDIP dan PG di Pileg 2009 dapat ditelusuri ke partai ini. Prediksi suara PGIR bahkan meningkat tajam di Pileg 2014 di mana terjadi kenaikan sebesar 7,35%. Tentu saja, di Pileg 2009 ini, suara PGIR dapat dilacak pada berkurangnya secara signifikan suara PD. Karakter pemilih PD yang berupa MV mendorong mudahnya mereka untuk berpindah dari PD ke PGIR ini.

    Serupa dengan PD, PGIR mengandalkan figur tokoh partai sebagai basis pemersatu elit. Secara karakter, para pemilih PGIR ini lebih mirip dengan PDIP ketimbang PD dan PG. PGIR lebih fokus pada isu-isu populis ketimbang isu-isu pemodal kendati Prabowo (dan adiknya) adalah juga berprofesi pengusaha. Berbeda dengan PKS, mengatakan bahwa PGIR memiliki CBV masihlah terlalu dini. Berkaitan dengan PD, kemampuan PGIR menyedot suara PD salah satunya dikuatkan oleh kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap elit PD yang memegang kuasa administrasi pemerintahan selama 10 tahun. Tokoh PGIR yaitu Prabowo muncul mengatasi kejenuhan tersebut untuk kemudian mampu tampil sebagai pemenang ke-3 Pileg 2014.

    Partai Hati Nurani Rakyat. PHNR memulai debut baru berbarengan dengan PGIR. Sama seperti PGIR, lahirnya PHNR dimotori oleh para bekas elit PG. Jika PGIR dimotori Prabowo, maka PHNR dimotori oleh Wiranto. Eksistensi PHNR memanfaatkan PBV yang ada di tubuh PG. Di Pileg 2009 di mana PHNR ikut pemilu, suara diperoleh sebesar 3,77%. Besaran ini lebih kecil ketimbang partai sejenisnya, PGIR. Suara PHNR juga menaik sebesar 1,54%. Ada kemungkinan, sama seperti PGIR, suara PHNR memanfaatkan para MV yang di Pileg 2009 memilih PD. Hal ini menjadi mungkin karena suara PG di Pileg 2014 mengalami stagnasi dari 14,45% di Pileg 2009 menjadi 14,75% di Pileg 2014.

    Juga serupa dengan PGIR agak sulit memrediksi apakah PHNR memiliki CBV ataukah sekadar MV mengingat baru kali kedua partai ini mengikuti Pileg. Pengandalan PHNR kepada seorang tokoh dirasakan akan sulit membuat partai ini memiliki CBV yang genuine.

    Partai Nasional Demokrat. PND hadir sebagai bukti kegagalan PG dalam mengohesikan elitnya. Pasca Pileg 2009, seorang elit PND yaitu Surya Paloh mendirikan gerakan Nasional Demokrat. Gerakan yang kemudian bermetamorfosis menjadi PND ini lalu ikut serta dalam Pileg 2014. Suara PND dalam debutan pertama relatif lebih sukses ketimbang PHNR dan PGIR karena langsung menyabet 6,72% suara nasional.

    Secara umum, pola yang digunakan PND dalam mengembangkan partai mirip dengan PGIR. Hanya saja, kekuatan PND disupport oleh kekuatan media yang dimiliki promotornya. PND relatif lebih mampu menjangkau para MV yang berkeliling di seputar PD. Cukup banyak kandidat yang ditawarkan PND yang awalnya merupakan para kandidat PD. Sama seperti PGIR, PND mengandalkan kejenuhan para MV di tubuh PD atas pola kepemimpinan nasional selama 10 tahun terakhir. PND hadir dengan gagasan-gagasan baru (restorasi Indonesia). Isu baru ini mendorong para MV di tubuh PD untuk menyeberangkan pilihan mereka kepada partai baru ini.


    Fenomena Realignment Partai Politik

    Peralihan CBV menjadi PBV mendorong beralihkan suara dari partai lama kepada partai baru. Fenomena ini ditunjang oleh terjadinya disalignment di tubuh partai-partai lama, terutama pada kalangan CBV-nya. Apabila CBV dinyatakan telah ada, maka itu dapat dikatakan terdapat pada partai-partai "senior" seperti PDIP, PG, PPP, PKB, PAN, dan PKS. PKS merupakan sebuah perkecualian karena partai ini secara genuine mampu membentk CBV yang cukup jelas dan sulit bagi mereka untuk bertranformasi menjadi PBV ataupun MV. Keenam partai ini, apabila mengikuti analisis pileg-pileg pasca reformasi dan sejarah politik aliran, dapat dikatakan telah membentuk CBV mereka sendiri. Persoalan utama keenam partai ini adalah melakukan pemeliharaan atas para CBV yang mereka miliki.

    Pada pihak lain, kemunculan PD, PGIR, PHNR, dan PND, untuk sementara dapat dinyatakan sebagai efek dari disalignment yang terjadi di tubuh partai-partai senior. Akan tetapi adalah sulit apabila menyatakan bahwa disalignment yang terjadi di tubuh partai senior kemudian membentuk CBV di empat partai nasionalis ini. Fenomena anjloknya PD dari 2009 ke 2014 adalah contoh kasus bahwa pemilih mereka dapat saja hanya berupa PBV ataupun MV. Melonjaknya suara PGIR dari 2009 ke 2014 juga dapat dinyatakan sebagai sekadar kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap pilihan mereka di 2009. Demikian pula, PHNR dan PND memeroleh limpahan suara dari fenomena serupa dengan PGIR.

    Justru fenomena realignment mengalami siklus balik terhadap partai-partai senior. Misalnya, PDIP bertambah suara mereka dari 14,01% di Pileg 2009 menjadi 18,95% di Pileg 2014. Para PBV kelihatannya kembali menjadi CBV. Hal serupa juga terjadi dengan PKB, di mana terjadi "pemulihan" suara mereka dari 4,95% di Pileg 2009 menjadi 9,04% di Pileg 2014. PAN juga mengalaminya, dari 6,03% di Pileg 2009 menjadi 7,59% di Pileg 2014. Untuk kasus sedikit berbeda, PPP juga mengalami kenaikan dari 5,33% menjadi 6,53% dari 2009 ke 2014. Sejarah PPP yang cukup panjang, kendati organnya beragam, membuat PPP layak untuk dinyatakan sebagai punya CBV tersendiri berbeda dengan partai-partai berbasis Islam lainnya.

    Fenomena realignment ini hanya akan terus terjadi apabila partai-partai seperti PDIP, PG, PPP, PAN, PKB, dan PKS gagal dalam mengantisipasi sebab-sebab terjadinya disalignment partai politik. Apabila hal ini tidak mampu dicegah oleh partai-partai itu, PD, PGIR, PHNR, dan PND kemungkinan besar akan membentuk CBV mereka sendiri untuk sama sekali lepas dari partai-partai induk.

    ----------------------------

    Rujukan:

    [1] Charles M. Mack, When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment (Santa Barbara: Praeger, 2010) p. 8.
    [2] ibid.

    Prediksi Koalisi Pasca Pileg 2014

    Pemilihan umum untuk anggota legislatif tahun 2014 telah digelar. Kendati hasil resmi dari KPU belum dikeluarkan, sekurangnya 4 versi Quick Count telah di tersebar secara online. Lembaga-lembaga seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia - MetroTV (IPI-MetroTV), Hitung Cepat Kompas (HCK), dan Cyrus-CSIS (C-CSIS) kurang lebih memperlihatkan hasil serupa, sekurangnya per jam 21:19 tanggal 9 April 2014.
     
    Hasil dari hitung cepat lembaga-lembaga tersebut sebagai berikut:*)




    PDI Perjuangan duduk di posisi pertama dengan rata-rata 19,25%, disusul oleh Partai Golkar dengan 14,55%, Partai Gerindra 11,88%, Partai Demokrat 9,68%, PKB 9,13 %, PAN 7,42 %, PKS 6,87 %, PPP 6,68 %, Partai NasDem 6,55 %, Partai Hanura 5,31 %, PBB 1,49 %, dan PKPI 0,99 %. Hasil ini dapat saja mengasumsikan pola-pola politik yang muncul di hajat besar nasional kemudian: Pilpres 2014 bulan Juli 2014. Dengan parliementary-threshold 3,5 %, kemungkinkan besar PBB dan PKPI sulit ambil bagian dalam pertarungan koalisi. 

    Undang-undang Pilpres tahun 2008, pasal 9 menyebutkan: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

    Dengan demikian, hipotesis yang dapat diajukan terkait masalah hasil hitung cepat dan Pilpres 2014 nanti adalah tidak ada satu pun partai politik yang nyaman melenggang tentukan capres dan cawapresnya. Semua partai yang beroleh suara > 10 % "terpaksa" harus koalisi dengan partai lain. Koalisi adalah "suatu pemerintahan dengan mana aneka partai yang berbeda berkomitmen untuk saling melayani dan berbagai pekerjaan (portofolio) di dalam sebuah kabinet serta berbagi portofolio tugas kepala eksekutif. Berdasarkan hasil sementara, maka skenario koalisi yang diajukan dapat beragam. 

    Koalisi Polaris

    Skenario ini membelah pola koalisi berdasarkan garis ideologi secara zero-sum. Apabila garis ideologi digunakan, maka hanya ada dua macam koalisi untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres (CPCW) yaitu koalisi parpol Nasional dan parpol Islam. Koalisi nasional terdiri atas PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, dan Hanura. Berdasarkan hasil hitung cepat kekuatan suara sah nasional apabila mereka berkoalisi adalah 67,22 %. Dengan 67,22 % suara total, secara kuantitatif koalisi parpol nasionalis menguasai parlemen dan eksekutif Indonesia ditambah mengajukan CPCW sendiri. Di pihak lain, koalisi parpol Islam yaitu PKB, PAN, PKS, dan PPP berkekuatan 30,10 % suara sah secara nasional. Suara total 30,10 % dapat menjadi modal rintisan koalisi parpol Islam, dimulai dengan pembentukan platform kerja dan pengajuan CPCW secara mandiri guna memengaruhi suara parlemen. Koalisi polaris ini bersifat zero sum. Kemampuannya untuk terwujud cukup kecil mengingat sejumlah perbedaan di masing-masing kubu. 

    Di dalam kubu nasional, hampir seluruh partai masih bertipikal partai elit seperti Gerindra, PDIP, Demokrat, NasDem dan Hanura. Partai elit cenderung melembagakan tokoh partai sebagai partai itu sendiri. Akibatnya, partai amat bergantung pada political will dan political competence sang tokoh dalam menjalin koalisi. Dengan demikian, bagaimana PDIP bersikap kepada Demokrat dan Gerindra adalah bergantung pada sikap Megawati SP sebagai ketua umum, kepada, baik SBY maupun Prabowo. Di sisi lain, NasDem dan Golkar tentu harus menggali jalinan pengertian mendalam, terutama antara Surya Paloh dan Aburizal. Dalam kubu nasional ini, Golkar merupakan satu-satunya partai yang paling jauh terdesentralisasi. Desentrasilasi ini mendorong Golkan secara mudah disebut partai catch-all, yaitu partai yang berorientasi pemenangan Pemilu. Dengan mudah partai ini dapat menawarkan kompromi-kompromi kepada kubu nasional lainnya agar koalisi CPCW dapat terbentuk. Paling jauh adalah, Golkar meninjau kembali positioning Aburizal sebagai capres dengan menawarkan tokoh lain misalnya Jusuf Kalla, Priyo, maupun Akbar Tanjung sebagai figur koalisi ini. 

    Selain masalah figur, platform partai pun dapat menjadi masalah. PDIP dan Gerindra adalah nasionalis-populis. Keduanya lebih banyak meng-endorse isu politik dari akar rumput ke level nasional. Endorsement ini mendorong kekhawatiran munculnya instabilitas atas status quo. Status quo yang dimaksud adalah power relations dan economic relations yang telah mapan sepanjang 10 tahun pemerintahan SBY. Apabila koalisi polaris terwujud, maka hubungan paradoks antara kedua partai ini terjadi vis a vis Golkar dan Demokrat. Demikian pula, NasDem dan Hanura tentu akan merasakan dampak yang sama mengingat Surya Paloh dan Hary Tanoe memiliki kepentingan bisnis yang tidak bisa dikatakan kecil di Indonesia. Di sisi lain, apabila PDIP dan Gerindra memoderasi platform mereka agar selaras dengan kepentingan-kepentingan ikutan yang terbit dari ikut sertanya Golkar, Nasdem, Hanura, dan Demokrat, dapat dipastikan jargon populisme yang keduanya usung selama ini akan anti klimaks.

    Selain masalah tokoh dan platform, koalisi nasional dihantui adanya 3 partai "cukup" besar yang terlanjut mengusung "bacapres" sendiri-sendiri. PDIP mengusung Joko Widodo, Gerindra mengusung Prabowo, dan Golkar mengusur Aburizal Bakri. Kendati PDIP punya suara 19 %, tentu tidak mudah apabila menjadikan Aburizal ataupun Prabowo sebagai wakil. Ini belum ditambah negosiasi dari NasDem dan Hanura seputar posisi cawapres. Negosiasi rumit dan alot akan terjadi di kalangan parpol nasional apabila mereka hendak jalan bersama, selain koalisi "tambun" yang mungkin saja memicu inefektivitas dan disorientasi kerja eksekutif yang nantinya terbentuk. 

    Koalisi polaris di antara parpol Islam tidak kalah menariknya. Pasca Pileg 2009, sempat muncul "niatan" koalisi partai Islam. Koalisi ini bukan tidak mungkin terwujud asalkan elit partai dapat membangun kesepakatan politik dengan Islam sebagai pemersatu. Masalah yang muncul umumnya positioning sektoral. PKB mungkin menganggap memiliki basis massa Nahdliyin dan kini (dari hitung cepat) punya suara terbesar (sekitar 9,13 %). Di sisi lain, PAN tentu memiliki klaim yang serupa. PKS memiliki pola rekrutmen massa yang cukup spesifik. Sementara PPP kemungkinan merasa diri paling berpengalaman sehingga menaruh harga yang cukup tinggi dalam rencana koalisi ini. Koalisi polaris di antara parpol Islam dapat menjadi test-case, karena ada kemungkinan pengusungan CPCW akan mendorong pada terciptanya "common-enemy". Kesibukan atas "common-enemy" ini melepas sekat di antara keempat parpol sehingga mampu mengorganisir diri ke dalam bentuk koalisi stabil. 

    PKB dapat saja mengambil inisiatif awal membangun koalisi parpol Islam. Hal ini seharusnya dapat menjadi lebih mudah karena di era pemerintahan SBY, PKB, PKS, PAN, dan PPP adalah bagian dari koalisi (Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, Hatta Rajasa, dan Suryadarma Ali tentu sering rapat bersama). Masalah-masalah yang terjadi di antara keempat partai ini sesungguhnya telah dapat diinventarisasi dan dijadikan draft awal dalam rencana aksi koalisi mereka. 

    Bahkan, lebih jauh lagi, dengan bermodalkan pengalaman 10 tahun berkoalisi, parpol-parpol Islam tentu sudah tidak lagi berpikir mengenai apakah mungkin koalisi dibangun di antara mereka. Hal itu sudah lagi bukan merupakan persoalan karena selama ini mereka telah duduk bersama, baik di dalam eksekutif maupun legislatif. Koalisi parpol Islam seharusnya sudah masuk ke dalam pembahasan mengenai inventarisasi program prioritas seperti kedaulatan ekonomi, kedaulatan wilayah, pemihakan berimbang atas buruh-pengusaha, pemberdayaan PKL (juga tentunya petani dan nelayan), reformasi birokrasi secara nyata, pemberantasan riba, pemberantasan korupsi, pemberdayaan zakat, pengamanan/pertahanan wilayah-wilayah terluar, dan sejenisnya yang sifatnya nasionalis dan populis. Islam tentu saja menjadi faktor pemersatu di antara peserta koalisi dalam menentukan program. Mengingat urgensi dari isu-isu ini, maka persoalan siapa yang menjadi CPCW dan siapa dapat kementerian apa menjadi terlihat "sangat" kecil.


    Koalisi Program Aksi

    Koalisi program aksi adalah koalisi yang terbentuk berdasarkan kesamaan janji kampanye masing-masing parpol. Pembentukan koalisi jenis ini bukanlah suatu hal yang biasa pasca Pemilu 1999, 2004, dan 2009 di Indonesia. Namun, ketidakbiasaan ini sesungguhnya dapat mulai "dibiasakan" sejak 2014 ini dan ke depan. Dengan terbentuknya koalisi program aksi maka koalisi yang terbentuk akan lebih simetris dengan janji-janji yang para parpol ujarkan selama masa kampanye. 

    Koalisi ini disusun mengingat singkatnya masa kekuasaan suatu pemerintahan (hanya 5 tahun). Adalah sulit mewujudkan sekian banyak "janji" hanya dalam waktu 5 tahun saja. Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan oleh para parpol adalah sungguh-sungguh membangun koalisi berdasarkan program aksi apa yang mereka rencanakan. 

    Dalam konteks koalisi program aksi ini, Gerindra dan PDIP terlihat memiliki kesamaan yang cukup jelas. Suara total keduanya adalah 31,13 %. Hal ini sufficient karena memenuhi persyaratan 25 % suara untuk CPCW dan cukup mayoritas di dalam parlemen. Tantangan terhadap koalisi terbentuk apabila ke-8 parpol lain bersatu sehinggga berkekuatan 66,19 %. Tantangan ini akan semakin besar mengingat representasi kalangan mayoritas dapat diasumsikan menjadi tidak ada apabila sekadar PDIP-Gerindra saja. Koalisi action PDIP-Gerindra, kendati mungkin terjadi, tetapi berat apabila dilaksanakan begitu saja. 

    Koalisi action lain yang mungkin muncul adalah antara sesama parpol Islam yaitu PKS, PPP, PKB, dan PAN. Penguasaan keempatnya atas 30,10 % suara tentu akan menjadi modal kuat apabila dilandasi program action yang sistematis, jelas, terarah, dan mengikat. Koalisi action lain yang mungkin muncul adalah antara Golkar, NasDem, dan Hanura yang mengambil kekuatan 26,41 % suara. Jumlah total suara ini menjadi basis kekuatan di parlemen dan eksekutif untuk mengamankan action-action yang direncanakan mengingat kesamaan posisi kapital para penyandang dana dari ketiga partai ini. Apabila hendak lebih kuat, dapat saja koalisi ini mengajak Demokrat untuk memberi efek yang lebih signifikan menjadi koalisi 4 parpol. 

    Koalisi Safety

    Koalisi safety adalah koalisi bertujuan tetap ikut serta di dalam kepemimpinan eksekutif. Koalisi jenis ini mirip dengan koalisi di dalam pemerintahan SBY pasca 2009. Koalisi ini beresiko disorientasi, gamang, tidak disiplin, dan kurang berwibawa. Koalisi ini dibentuk sekadar memenuhi kuasa mayoritas dalam parlemen 50 + 1. 

    Koalisi safety yang mungkin terbentuk adalah antara PDIP, NasDem, PAN, PKB, PKS, Hanura dengan total 54,52 % suara parlemen dan tubuh terdiri atas 6 parpol. Atau alternatifnya antara Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, dan PAN dengan penguasaan 52,66 % bertubuh 5 parpol. Koalisi safety yang kedua lebih langsing ketimbang yang pertama. 

    *) keterangan:
    LSI (Lingkaran Survei Indonesia)
    IPI-MeTV (Indikator Politik Indonesia - Metro TV)
    HCK (Hitung Cepat Kompas)
    C-CSIS (Cyrus-CSIS)
    Average (Rata-rata)

    Monday, April 3, 2017

    Pengertian Trias Politika & Sejarahnya

    Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

    Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

    Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

    Sejarah Trias Politika


    Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.


    Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

    Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.

    Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.


    Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.


    Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.