Wednesday, May 24, 2017

Partai Politik Pasca Reformasi

Partai politik pasca reformasi antara disalignment dan realignment


Tesis ini mengentara pasca Pileg 2014 kemarin. Kendati hanya berdasar rata-rata hasil quick-count dari 4 lembaga survei (terlampir), kelihatan bahwa posisi mereka semua mendatar. Tidak satu pun partai punya boarding-pass 25% agar bisa prerogatif mengusung capres-cawapres sendiri. Mereka semua harus negosiasi, baik dengan 1 atau lebih parpol lain guna mengusung kandidat kepala eksekutif negara 2014-2019. Hampir seluruh parpol harus mengadaptasi bentuk mereka menjadi "catch-all" party. Bentuk ini agar meluaskan spektrum pemilih agar suara mereka tidak mau jadi menyusut di pileg 2019 nanti. 


Disalignment dan Realignment

Kembali ke judul tulisan. Disalignment dan realignment adalah konsep yang di antaranya bisa ditemukan dalam tulisan Charles S. Mack dalam bukunya "When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment" yang terbit tahun 2010 lalu. Mack mengaji fenomena disalignment dan realignment yang menimpa Whig Party (AS), Liberal Party (Inggris), dan Progressive Conservative Party (Kanada). Dalam tulisannya, Mack mendefinisikan disalignment sebagai: "A severe loss of support for a major political party among its core base voters."[1] Sementara itu, realignment didefinisikannya sebagai "A substantial, persistent, and pervasive transfer of support among medial voters from one major party to another."

Menurut Mack, suatu partai politik akan mengalami disalignment apabila ia kehilangan dukungan dari para pemilih yang menjadi basis partai tersebut. Misalnya, kalangan Nahdliyin pedesaan di Jawa Timur tidak lagi mau memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau aktivis tarbiyah yang meningggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di setiap pemilu. Sementara itu, realignment adalah suatu kondisi dengan mana terjadi transfer dukungan dari pemilih suatu partai ke partai lainnya. Misalnya, para pemilih Partai Amanat Nasional mengalihkan dukungan kepada PKS atau para pendukunga Partai Demokrat lebih memilih Partai Gerindra di suatu pemilu. Fenomena "perpindahan" dukungan adalah suatu hal yang mengentara baik pada disalignment maupun realignment

Konsep kunci dalam kedua fenomena tersebut (disalignment dan realignment) adalah voter (pemilih dalam pemilu). Kategori pemilih dalam kedua peristiwa tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu core base voter (CBV), medial voter (MV), dan peripheral base voters (PBV). [2] CBV adalah suatu segment pemilih yang terbiasa dan normalnya selalu memilih para kandidat dari suatu partai tertentu, terkadang tidak peduli siapa kandidat yang partai itu tawarkan di setiap pemilu. Para CBV inilah yang sesungguhnya membuat suatu partai selalu memeroleh kursi di setiap pemilu. Kegagalan partai dalam memelihara CBV ini pula yang membuat suatu partai politik bangkrut suaranya. MV adalah para pemilih yang menjadi subyek yang potensial untuk ditarik oleh kandidat suatu partai karena mereka sesungguhnya bukan CBVpartai manapun. PBV adalah seperti CBV tetapi lebih kritis karena mereka sewaktu-waktu dapat berpindah pilihan ke partai lain apabila menurut mereka partai yang biasa mereka pilih melakukan suatu pengabaian. 

Baik peristiwa disalignment dan realignment maupun karakteristik pemilih yaitu CBV, MV, dan PBV, seluruhnya membuat konstelasi stabilitas partai politik ibarat terus ada di ujung tanduk. Tidak ada jaminan resmi bahwa hasil di Pileg 2014 adalah serupa dengan Pileg 2019. Tidak ada jaminan bahwa CBV suatu partai politik akan terus menjadi CBV tanpa pernah beranjak menjadi PBV


Disalignment Partai Politik

Mengapa partai politik bisa mengalami disalignment? Mack menginventarisasi sejumlah faktor selaku variabel bebas yang membuat partai politik mengalami peristiwa ini. Variabel-variabel tersebut adalah: 

  1. Gagalnya kepemimpinan
  2. Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional
  3. Alienasi partai atas CBV
  4. Adanya partai(atau partai-partai) alternatif
  • Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP)
  • Gagalnya kepemimpinan. Gagalnya kepemimpinan partai politik dicurigai menjadi sumber dari disalignment partai tersebut dari pemilu ke pemilu. Gagalnya kepemimpinan ini dapat dilihat dari terjadinya kondisi ketika elit partai salah melakukan penilaian atas posisi dirinya saat diperhadapkan dengan konstituen dan konfigurasi kekuatan partai-partai secara aktual. Aneka korupsi yang dilakukan elit partai adalah salah satu dari gejala ini. Juga, inkompetensi elit (dan para kandidat partai) misalnya dalam melontarkan statement, mengatasi konflik internal partai, pembangunan aspirasi di level grass-root, eksklusivitas elit, merupakan ragam hal yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Gagalnya kepemimpinan ini bahkan semakin jelas di era informasi yang terbuka. Para CBV dapat mengamati dan mengevaluasi perilaku elit partai lewat blog, twitter, facebook, bbm, dan social media lain selain tentu saja televisi. Selain karena alamiah dilakukan elit partai, gagalnya kepemimpinan juga dapat di-framing secara sengaja oleh lawan politiknya dari partai lain karena punya kekuatan media.

    Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional. Hal ini berkaitan dengan pengambilan posisi aktual partai atas isu-isu nasional dan identitas CBV diperhadapkan dengan posisi elit. Para CBV merasa bahwa mereka telah selesai dalam mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik. Posisi partai politik diasumsikan telah fix sehingga CBV merasa aman dengan pilihannya. Namun, akibat dinamisasi perpolitikan dalam skala nasional dan global, partai terkadang harus mengambil posisi berbeda dengan pendirian konservatifnya. Apabila ini terjadi, CBV akan mempertanyakan hal tersebut dan apabila jawaban memuaskan tidak diperoleh, mereka akan mulai merasa diasingkan oleh partai.

    Alienasi partai atas CBV. Situasi alienasi dapat dikatakan sebagai perulangan dua penyebab pertama, yang semakin intens, sehingga CBV seolah tidak memiliki kaitan afeksi lagi dengan partai. Dalam kondisi alienasi ini, CBV mungkin saja mulai bertransformasi menjadi PBV. Situasi CBV menjadi "galau" dan di titik inilah partai kompetitor mulai menyuguhkan diri mereka sebagai "pelipur lara." Atau, dapat saja CBV sama sekali menjadi apolitis dan ia pun bertransformasi menjadi MV. Mereka terombang-ambing, mengambang, dan baru menentukan pilihan apabila kepercayaan mereka kepada politik telah kembali.

    Adanya partai(atau partai-partai) alternatif. Kendati pun CBV telah menjadi MVataupun PBV, jarangkali mereka menaruh pilihan kepada partai lain dengan melintasi garis ideologis. Mereka umumnya "menyeberang" ke partai lain yang memiliki ideologi sama kendati "gerbongnya" berbeda. Seorang CBV partai berbasis agama, yang mengaitkan pilihan politik dengan kesalehan agama, akan sulit menyeberangkan pilihan mereka kepada partai lain yang berbasiskan sekularitas. Hal yang demikian pun dapat terjadi sebaliknya. Pada variabel keempat ini, situasi disalignment mulai mengental.

    Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP). Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem kepartaian dwi-partai seperti Inggris, Kanada, Australia, ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak menganut FPP dalam mekanisme Pileg. Namun, ini bukan berarti sistem proporsional tidak rentang mengakibatkan disalignment terhadap partai. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan selanjutnya.


    Belajar dari Empat Pileg

    Analisis selanjutnya diketengahkan berdasarkan 4 Pileg yang diselenggarakan 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil tersebut dapatlah kiranya gambaran mengenai disalignment lebih terjelaskan.

    Data untuk pileg 1999, 2004, 2009, dan 2014 diambil dari KPU.

    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. PDIP memeroleh suara 33,74% di pileg 1999, kemudian turun menjadi 18,31% di pileg 2004, terus turun di pileg 2009 menjadi 14,01%, untuk kembali naik menjadi 18,95% di pileg 2014. Apakah terjadi disalignment atas PDIP? Jawabannya adalah jelas apabila diletakkan dalam rentang 1999 hingga 2009, yaitu dari 33,74% menjdi 14,01. Suara partai tersebut turun lebih dari setengahnya sejak 1999. Suara tersebut bahkan turun dari 2004 ke 2009 selama masa partai menjadi menjadi oposisi pemerintah. Pemulihan baru terjadi dari 2009 ke 2014 di mana partai ini naik dari 14,01% menjadi 18,95%. Lalu, apa yang bisa dikatakan kepada PDIP ini.

    Pertama, apabila mundur ke determinan historis, PDIP adalah representasi dari PNI tahun 1955. Basis konstituen (CBV) partai PDIP sulit untuk dikatakan berasal dari luar partai ini. Di Pileg 1955, PNI berhasil memeroleh 22,32% sementara untuk Konstituante 23,97%. Apabila didasarkan pada asumsi tersebut, pada suara 33,74% di pileg 1999 terkesan agak berlebihan. CBV PDIP maksimal memang berada di sekitar 20%-an suara nasional. Pernyataan ini membawa dampak pada pernyataan selanjutnya: Disalignment terjadi pada PDIP sejak 2004, 2009 dan baru sedikit pulih pada 2014.

    Kedua, elit partai di PDIP kurang berhasil bertindak selaku perekat CBV karena hanya mengandalkan trah Sukarno, yaitu Megawati S.P. (juga almarhum Taufik Kiemas). Kerja suatu partai politik tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan orang per orang sehingga menihilkan peran partai sebagai sebuah organisasi. Baru lah ketika PDIP melakukan kaderisasi di luar trah, seperti misalnya memroyeksikan elit-elit baru seperti Tri Rismaharini, Teras Narang, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Widodo, ataupun Ganjar Pranowo, para CBV kembali bisa diyakinkan bahwa partai sesungguhnya memikirkan nasib mereka. Juga, ideologi yang diemban oleh tokoh-tokoh tadi tidak jauh dari ideologi yang juga ada di benak para CBV : Nasionalisme dengan tidak berpatokan pada disiplin agama tertentu.

    Ketiga, fenomena anjloknya CBV PDIP dari 1999 hingga 2009 juga akibat terciptanya image bahwa PDIP berdiri di posisi "kapitalis" sehubungan isu-iso salah satu segmen PDIP yang cukup luas: Buruh dan tani. Isu keberpihakan Megawati atas outsourcing dan penjualan aset kepada asing merupakan dua isu yang menghempas para CBV sehingga mereka teralienasi dari melirik partai lain untk dipercayakan aspirasi mereka. Terlebih kini para CBV memiliki pilihan yaitu Partai Gerindra yang secara ideologi tidaklah berbeda jauh dengan PDIP yang mana mereka bersedia menjadi pilihan pengganti PDIP.

    Partai Golkar. Partai Golkar adalah dominator dalam setiap pemilu Orde Baru, sejak 1971 hingga 1997. Begitu diadakah pemilu demokratis pertam 1999, suaranya anjlok menjadi 22,44%. Kendati ia menempati peringkat ke-2, dapat dipastikan bahwa partai ini sekedar memiliki CBV di kisaran 20%-an pemilih. Di Pileg 2004 suaranya turun menjadi 21,62%, terus turun di 2009 menjadi 14,45% dan stagnan-cenderung naik menjadi 14,75% di 2014. Pemilih Golkar di tiap-tiap pileg Orde Baru, kendati selalu mayoritas, ternyata bukanlah melukiskan CBV yang sebenarnya. Pemilih terbesar mereka di masa-masa tersebut kiranya hanya merupakan MV, dan ini ditunjukkan secara kuat pada pileg 1999: Dari 60%-an suara mereka di pileg 1997 segera anjlok menjadi 22,44% dan terus turun di masa-masa kemudian.

    Disalignment benar-benar terjadi pada PG. Mayoritas pemilih mereka di Orde Baru adalah MV, yang "terpaksa" memilih partai ini karena sejumlah alasan. Pileg 1999 pun bukanlah menunjukkan siapa CBV mereka. Di antara 22,44% pemilih mereka di 1999 masihlah terdapat PBV. Ini segera ditunjukkan di Pileg 2004 di mana suara mereka menyusut 0,82%. Dilanjutkan dengan penyusutan sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Seperti dalam teori disalignment, faktor gagalnya elit mengentara di keanjlokan 2004 ke 2009 ini. Kepemimpinan PG pecah antara kubu Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Surya Paloh kemudian dikenal mengembangkan gerakan sosial Nasional Demokrat, Kalla fokus pada organisasi di luar PG (Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia), sementara Bakrie yang mengandalkan kekuatan finansial dan medianya memimpin PG yang kini kurang padu. Pemilih PG mengalami alienasi dan mereka yang mengalami hal ini benar-benar siap menransformasikan suara mereka kepada partai lain.

    Disalignment PG di antaranya juga disebabkan berdirinya Partai Demokrat (PD). PD yang sejak Pileg 2004 sudah ikut serta diduga menjadi muara pemilih PG yang sudah menjadi PBV. Para pengikut Hayono Isman dan Susilo Bambang Yudhoyono kemungkinan besar masuk ke gerbong baru ini. Gagalnya elit PG dalam distribusi kekuasaan pun kian memermanensi dugaan CBV partai ini yang sekadar di kisaran 14% terkait perolehan suara mereka di Pileg 2014. Ini ditunjukkan dengan hadirnya 2 partai baru yang difigurisasi oleh bekas tokoh senior PG seperti Prabowo (Partai Gerindra/PGIR) dan Wiranto (Partai Hanura/PHNR). Kehadiran 2 partai inilah yang membuat PG benar-benar memiliki sekadar PBV di Pileg 2004. Banyak dari antara PBV ini yang dengan mudahlah menyeberang ke PGIR dan PHNR. Pileg 2014 tidak lebih sekadar membuktikan kecenderungan-kecenderungan ini secara lebih lanjut.

    Partai Persatuan Pembangunan. PPP adalah partai fusi, yaitu dari partai-partai berbasis Islam yang dikompres oleh Orde Baru menjadi 1 partai Islam tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (pewaris Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah menjadi pembangunnya. Dengan demikian, sejak awalnya, pemilih PPP adalah perpaduan dari CBV dan PBV yang cukup menarik. Di selama pileg Orde Baru, PPP mengalami efek depolitisasi dari pemerintah. Para pendukung partai Islam, untuk sebagian, memilih PPP sebagai pilihan minimal. Banyak pula di antara pemilih Islam yang melabuhkan suara mereka di partai korporatis PG.

    Suara PPP cenderung stabil sejak Orde Baru hingga Pileg 1999 dengan posisi 10,71% suara. Namun, posisi pendukung partai Islam memiliki sejumlah kesempatan untuk menerjemahkan pilihan politik mereka secara lebih asertif. Hadir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasiskan kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berbasisnya ormas Muhammadiyah, dan Partai Keadilan (PK) yang berbasiskan kalangan pergerakan Tarbiyah dan revivalis Islam internasional. Kemunculan PK, PKB, dan PAN ini mendorong pemilih Islam untuk lebih tegas memosisikan sikap Islam dan hidup politik mereka. PBV di tubuh PPP pun segera melabuhkan pilihan mereka ke ketiga partai tersebut, sementara CBV mereka menetap di PPP. Akibatnya, suara PPP menyusut sebesar 2,55% dari Pileg 1999 ke 2004. Untuk kemudian menyusut lagi sebesar 2,83% dari Pileg 2004 ke 2009.

    Seperti telah diketahui, sesungguhnya PPP sendiri memiliki basis-basis pemilih yang berlainan di dalam tubuhnya. Dapat diprediksi bahwa kalangan NU di tubuh PPP berlabuh ke PKB, kalangan Muhammadiyah, PSII, dan Perti berlabuh ke PK(S) dan PAN. Kemungkinan juga banyak di antara PBV di tubuh PPP berlabuh ke partai-partai nasionalis yang mengiklankan diri sebagai juga religius (misalnya PD). Kini, CBV PPP dapat dikatakan sekadar berisikan 5 - 6% suara nasional. Hal ini pun dengan sejumlah catatan bahwa PPP benar-benar dapat mengendalikan konflik internal di dalam partai yang sesungguhnya memiliki CBV yang berasal dari basis berbeda.

    Partai Kebangkitan Bangsa. PKB seharusnya menjadi labuhan partai NU yang berkembangan sejak tahun 1952 dan NU yang serupa yang difusikan Orde Baru tahun 1971. Pada Pileg 1955 partai Nahdlatul Ulama menguasai 18,71% suara nasional, sementara pada Pileg 1971 menguasai 18,68% suara. Sebagai partai, NU dahulunya dapat dikatakan memiliki CBV yang cukup "tulen." Basis mereka adalah para santri di wilayah pedesaan (terutama Jawa Tengah dan Timur). Suara NU cukup stabil di periode 1955 hingga 1971.

    Manakala fusi dilakukan sejak 1971, kalangan NU seperti kehilangan pakem politik nasional. Para pemilihnya kemudian berubah menjadi MVhampir di sepanjang masa Orde Baru: Ada di antara mereka yang melabuhkan suara ke PG maupun PPP (mungkin juga bisa ke PDI, kendati kurang kuat). Di kedua partai tersebut, para pendukung NU sekadar bersifat MV.

    Menjelang Pileg 1999 berdirilah PKB dimotori tokoh NU Abdurrahman Wahid (cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU). Berbondong-bondong kaum Nahdliyin menuntaskan rindu-rendam mereka dalam politik nasional Indonesia. PKB langsung meraup suara sebesar 12,61% sekalig menempatkan dirinya sebagai pemenang ke-3 Pileg 1999. Dapatlah dikatakan bahwa suara ini memang sungguh-sungguh berasal dari CBV kalangan NU. Namun, PKB ternyata memiliki "rasa" berbeda dengan Partai NU, karena khittah 1984 menyatakan NU keluar dari arena politik. Namun, hengkangnya NU dari politik (sebagai partai) masih kurang dirasakan para CBV partai NU dahulu. Mereka tetap yakin bahwa PKB adalah partai NU itu sendiri. Hal ini ternyata tidak seperti diharapkan.

    NU adalah salah satu aliran yang berkembang jauh sebelum reformasi 1998 terjadi. NU adalah pernyataan tegas kesalehan Islam versi masyarakat tradisional Islam di Indonesia. NU (kalangan Nahdliyin-nya) memegang saham cukup besar dalam peralihan politik dari kolonial ke kemerdekaan dan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai kekuatan politik, NU adalah kekuatan yang mandiri. Kemandirian ini dirasakan masih harus terdapat di PKB.

    Ternyata, PKB bukanlah partai NU. Bentuk-bentuk pernyataan Islam yang tegas (versi NU) sulit diperoleh pada PKB. PKB lebih bernuansakan partai nasionalis dan sedikit sekuler. Akibatnya, para CBV NU merasa kegamangan sehubungan dengan pernyataan tegas kesalehan Islam ini. Hal ini kemudian terbukti berkurangnya suara PKB sebesar 2% dari 1999 ke 2004 dan 5,66% dari 2004 ke 2009. Sepanjang 2004 ke 2009, PKB dilanda konflik elit antara kubu Abdurrahman Wahid versus Muhaimin Iskandar. Dan bukan itu saja, kerindungan kalangan Nahdliyin akan kesalehan Islam yang lebih tegas disediakan oleh sebuah partai lain: Partai Keadilan Sejahtera. Banyak di antara tokoh-tokoh NU yang cukup simpatik terhadap PKS ini (misalnya Nurmahmudi Ismail dan kawan-kawan).

    Akibatnya, para pendukung PKB (yang Nahdliyin) lekas menransformasikan diri mereka menjadi PBV dan melabuhkan suara mereka kepada PKS. Partai yang belakangan ini banyak mengelola basis-basis tradisional kalangan Nahdliyin seperti lembaga pendidikan dan masjid-masjid. Melonjaknya suara PKS dari 1999 (ketika masih PK) ke 2004 dan 2009 di antara dapat dilacak pada fenomena ini.

    Begitu para tokoh NU di dalam PKB menjadi waspada, lekas mereka lakukan reorganisasi para CBV NU. Hal ini menghasilkan suara PKB yang mulai pulih di Pileg 2014 dari 4,95% (pileg 2009) menjadi 9,04% (pileg 2014). Perolehan suara PKB di Pileg 2014 menunjukkan kecenderungan realignment ini.

    Partai Amanat Nasional. PAN sulit untuk tidak dikatakan sebagai sama sekali lepas dari ormas Muhammadiyah. Logo matahari PAN, kendati tanpa kaligrafi, adalah mirip dengan logo Muhammadiyah. Tokoh-tokoh PAN pun seperti M. Amien Rais atau Hatta Rajasa adalah bagian dari Muhammadiyah.

    Dalam sejarah politik Indonesia, Muhammadiyah adalah gerakan sosial yang fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. Gerakan ini menjaga diri terhadap politik kendati membebaskan para anggota untuk memilih gerbong-gerbong politik yang sesuai. Dalam aliran politik, Muhammadiyah adalah representasi kalangan modernis, dengan basis utama pencaharian selaku pedagang di kota-kota (urban). Dengan demikian, aspirasi politik kalangan ini lebih dekat kepada Masyumi (dahulu) dan reinkarnasinya Parmusi di era awal Orde Baru.

    Dengan demikian, kendati perlu lebih diteliti, pada CBV Parmusi di Pileg 1971 adalah sebagiannya berasal dari para pendukung Muhammadiyah. Suara Parmusi di Pileg 1971 sebesar 5,36%. Di Pileg 1999, PAN memeroleh suara sebesar 7,12% dan memosisikan dirinya sebagai 4 besar Pileg. Suara PAN di Pileg 1999 ini seharusnya dapat lebih bertambah apabila para pemilih Masyumi, PSII, atau PUI melabuhkan suara mereka ke partai Islam modernis ini.

    Namun, serupa seperti PKB, PAN sendiri tidak memilih bentuk tegas sebagai representasi Muhammadiyah di dalam politik nasional. Posisi ini mendorong para berkurangnya suara partai sebesar 0,71% dari 1999 ke 2004, dan sebesar 0,38% dari 2004 ke 2009. Bahkan, suara PAN naik sebesar 1,56% dari 2009 ke 2014. Jumlah suara mereka di 2014 juga dapat dikatakan naik bahkan jika diperbandingkan dengan 1999 yaitu sebesar 0,47%.

    Disalignment PAN serupa dengan yang dialami PKB di sepanjang Pileg 2004 dan 2009 kendati lebih kurang signifikan dibanding PKB. Melihat dari suara mereka sejak 1999 hingga 2014, PAN cenderung dapat memelihara CBV mereka. CBV mereka yang berubah menjadi PBV jauh lebih kecil ketimbang di kalangan PKB. Pelacakan PBV dari PAN sama seperti PKB, dapat dilacak pada munculnya PKS sebagai muara PBV partai-partai Islam.

    Partai Demokrat. PD adalah sebuah partai catch-all. Fokusnya pada pemenangan Pemilu. Partai ini tumbuh sebagian besarnya dapat dilacak pada gagalnya kepemimpinan elit di tubuh PG. Terdapat organisasi sayap dan para bekas tokoh Golkar yang ikut memerkuat PD baik di masa awal pembentukan hingga selanjutnya.

    Turunnya suara Golkar, terutama dari 2004 ke 2009, salah satunya dapat dilacak pada semakin stabilnya PD ini. Seperti diketahui sebelumnya, suara PG turun sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Di sisi lain, suara PD cukup signifikan yaitu 7,46% begitu ikut Pileg 2004. Suara ini bahkan jauh naiknya dari 2004 (7,46%) menjadi 20,81% di Pileg 2009. Dari manakah suara PD berasal?

    Sesuai dengan bentuk PD yaitu sebagai catch-all party, ia memanfaatkan MV yang berkeliaran menjadi pemilih PDIP, PG, PPP, PKB, dan PAN. Signifikansi suara PD hingga 20,81% untuk kemudian "terjun bebas" secara drastis menjadi 10,19% di Pileg 2014 mengindikasikan banyaknya pemilih MV di PD. CBV PD bukanlah pemilih true believer melainkan sekadar MV yang melihat Pileg sebagai suatu kepentingan an sich. PD relatif lebih mudah mengalami disalignment ketimbang PG, dengan mana ini dapat dilihat pada perolehan suara mereka yang fluktuatifnya lebih tinggi ketimbang PG.

    PK dan PKS. Partai Keadilan (PK) adalah debutan baru di Pileg 1999. Namun, sejarah mereka adalah sejarah gerakan tarbiyah di perguruan-perguruan tinggi yang berkelindan dengan isu revivalisme Islam global. PK menawarkan kehausan kalangan Islam "santri" akan partai Islam yang lebih tegas perjuangannya dalam nuansa kesalehan agama. PK kemudian berubah nama (juga metamorfosis organisasional) di Pileg 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di Pileg tersebut, PKS mampu menaikkan suara PK dari sekadar 1,36% di Pileg 1999 menjadi 7,20% di Pileg 2004. Dalam konteks ini, PKS tentu tidak mengalami dealigment sama sekali.

    Bahkan, suara PKS stabil-cenderung naik dari 2004 ke 2009. PKS memunculkan diri sebagai "genre" baru partai politik berbasis Islam yang lebih tegas. Dalam Pileg 2004, ketika PPP, PKB, dan PAN mengalami penurunan suara, PKS justru bertahan-cenderung naik. Juga, seperti telah dibahas sebelumnya, PKS memanfaatkan para PBV yang melingkari PPP, PKB, dan PAN. Ada kemungkinan bahwa kini, para PBV tersebut telah beralih menjadi CBV-nya PKS. Hal ini terungkap lewat suara PKS di Pileg 2014, yang kendatipun turun dari 2009 sebesar 1,10%, tetapi tidaklah signifikan. PKS tidak seperti PD yang fluktuatif dan cenderung punya MV yang besar. PKS kini siap berdiri sebagai salah satu pilihan politik umat Islam sejajar dengan PKB, PAN, dan PPP.

    Fenomena PKS sulit untuk dimasukkan ke dalam gejala disalignment melainkan realignment. Kendati dapat saja PKS mengambil para PBV di PPP, PAN, dan PKB, sesungguhnya PKS kini telah membentuk CBV mereka sendiri. CBV ini merupakan khas karena mewakili generasi baru umat Islam yang terbuka atas isu-isu Islam di level global. Selain itu, PKS cenderung memiliki CBV yang kuat di perguruan-perguruan tinggi, kalangan intelektual, dan gerakan sosial yang bersifat akar rumput. Di masa mendatang, dapat diprediksi bahwa CBV PKS akan tetap stabil apabila tidak bisa dikatakan akan menaik.

    Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Gerakan Indonesia Raya (PGIR) adalah partai debutan baru. Ia baru ikut Pileg pertama kali tahun 2009. Fenomena munculnya PGIR hampir mirip dengan PD. Dimotori bekas tokoh PG (Prabowo), PGIR langsung memeroleh suara 4,46% di Pileg 2009. Hasil ini cukup lumayah mengingat bahkan PKB hanya memeroleh suara 4,95% di Pileg ini.

    Secara ideologi, tentu sulit apabila dikatakan bahwa PGIR langsung memiliki CBV. Namun, dapat dilacak hilangnya suara PDIP dan PG di Pileg 2009 dapat ditelusuri ke partai ini. Prediksi suara PGIR bahkan meningkat tajam di Pileg 2014 di mana terjadi kenaikan sebesar 7,35%. Tentu saja, di Pileg 2009 ini, suara PGIR dapat dilacak pada berkurangnya secara signifikan suara PD. Karakter pemilih PD yang berupa MV mendorong mudahnya mereka untuk berpindah dari PD ke PGIR ini.

    Serupa dengan PD, PGIR mengandalkan figur tokoh partai sebagai basis pemersatu elit. Secara karakter, para pemilih PGIR ini lebih mirip dengan PDIP ketimbang PD dan PG. PGIR lebih fokus pada isu-isu populis ketimbang isu-isu pemodal kendati Prabowo (dan adiknya) adalah juga berprofesi pengusaha. Berbeda dengan PKS, mengatakan bahwa PGIR memiliki CBV masihlah terlalu dini. Berkaitan dengan PD, kemampuan PGIR menyedot suara PD salah satunya dikuatkan oleh kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap elit PD yang memegang kuasa administrasi pemerintahan selama 10 tahun. Tokoh PGIR yaitu Prabowo muncul mengatasi kejenuhan tersebut untuk kemudian mampu tampil sebagai pemenang ke-3 Pileg 2014.

    Partai Hati Nurani Rakyat. PHNR memulai debut baru berbarengan dengan PGIR. Sama seperti PGIR, lahirnya PHNR dimotori oleh para bekas elit PG. Jika PGIR dimotori Prabowo, maka PHNR dimotori oleh Wiranto. Eksistensi PHNR memanfaatkan PBV yang ada di tubuh PG. Di Pileg 2009 di mana PHNR ikut pemilu, suara diperoleh sebesar 3,77%. Besaran ini lebih kecil ketimbang partai sejenisnya, PGIR. Suara PHNR juga menaik sebesar 1,54%. Ada kemungkinan, sama seperti PGIR, suara PHNR memanfaatkan para MV yang di Pileg 2009 memilih PD. Hal ini menjadi mungkin karena suara PG di Pileg 2014 mengalami stagnasi dari 14,45% di Pileg 2009 menjadi 14,75% di Pileg 2014.

    Juga serupa dengan PGIR agak sulit memrediksi apakah PHNR memiliki CBV ataukah sekadar MV mengingat baru kali kedua partai ini mengikuti Pileg. Pengandalan PHNR kepada seorang tokoh dirasakan akan sulit membuat partai ini memiliki CBV yang genuine.

    Partai Nasional Demokrat. PND hadir sebagai bukti kegagalan PG dalam mengohesikan elitnya. Pasca Pileg 2009, seorang elit PND yaitu Surya Paloh mendirikan gerakan Nasional Demokrat. Gerakan yang kemudian bermetamorfosis menjadi PND ini lalu ikut serta dalam Pileg 2014. Suara PND dalam debutan pertama relatif lebih sukses ketimbang PHNR dan PGIR karena langsung menyabet 6,72% suara nasional.

    Secara umum, pola yang digunakan PND dalam mengembangkan partai mirip dengan PGIR. Hanya saja, kekuatan PND disupport oleh kekuatan media yang dimiliki promotornya. PND relatif lebih mampu menjangkau para MV yang berkeliling di seputar PD. Cukup banyak kandidat yang ditawarkan PND yang awalnya merupakan para kandidat PD. Sama seperti PGIR, PND mengandalkan kejenuhan para MV di tubuh PD atas pola kepemimpinan nasional selama 10 tahun terakhir. PND hadir dengan gagasan-gagasan baru (restorasi Indonesia). Isu baru ini mendorong para MV di tubuh PD untuk menyeberangkan pilihan mereka kepada partai baru ini.


    Fenomena Realignment Partai Politik

    Peralihan CBV menjadi PBV mendorong beralihkan suara dari partai lama kepada partai baru. Fenomena ini ditunjang oleh terjadinya disalignment di tubuh partai-partai lama, terutama pada kalangan CBV-nya. Apabila CBV dinyatakan telah ada, maka itu dapat dikatakan terdapat pada partai-partai "senior" seperti PDIP, PG, PPP, PKB, PAN, dan PKS. PKS merupakan sebuah perkecualian karena partai ini secara genuine mampu membentk CBV yang cukup jelas dan sulit bagi mereka untuk bertranformasi menjadi PBV ataupun MV. Keenam partai ini, apabila mengikuti analisis pileg-pileg pasca reformasi dan sejarah politik aliran, dapat dikatakan telah membentuk CBV mereka sendiri. Persoalan utama keenam partai ini adalah melakukan pemeliharaan atas para CBV yang mereka miliki.

    Pada pihak lain, kemunculan PD, PGIR, PHNR, dan PND, untuk sementara dapat dinyatakan sebagai efek dari disalignment yang terjadi di tubuh partai-partai senior. Akan tetapi adalah sulit apabila menyatakan bahwa disalignment yang terjadi di tubuh partai senior kemudian membentuk CBV di empat partai nasionalis ini. Fenomena anjloknya PD dari 2009 ke 2014 adalah contoh kasus bahwa pemilih mereka dapat saja hanya berupa PBV ataupun MV. Melonjaknya suara PGIR dari 2009 ke 2014 juga dapat dinyatakan sebagai sekadar kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap pilihan mereka di 2009. Demikian pula, PHNR dan PND memeroleh limpahan suara dari fenomena serupa dengan PGIR.

    Justru fenomena realignment mengalami siklus balik terhadap partai-partai senior. Misalnya, PDIP bertambah suara mereka dari 14,01% di Pileg 2009 menjadi 18,95% di Pileg 2014. Para PBV kelihatannya kembali menjadi CBV. Hal serupa juga terjadi dengan PKB, di mana terjadi "pemulihan" suara mereka dari 4,95% di Pileg 2009 menjadi 9,04% di Pileg 2014. PAN juga mengalaminya, dari 6,03% di Pileg 2009 menjadi 7,59% di Pileg 2014. Untuk kasus sedikit berbeda, PPP juga mengalami kenaikan dari 5,33% menjadi 6,53% dari 2009 ke 2014. Sejarah PPP yang cukup panjang, kendati organnya beragam, membuat PPP layak untuk dinyatakan sebagai punya CBV tersendiri berbeda dengan partai-partai berbasis Islam lainnya.

    Fenomena realignment ini hanya akan terus terjadi apabila partai-partai seperti PDIP, PG, PPP, PAN, PKB, dan PKS gagal dalam mengantisipasi sebab-sebab terjadinya disalignment partai politik. Apabila hal ini tidak mampu dicegah oleh partai-partai itu, PD, PGIR, PHNR, dan PND kemungkinan besar akan membentuk CBV mereka sendiri untuk sama sekali lepas dari partai-partai induk.

    ----------------------------

    Rujukan:

    [1] Charles M. Mack, When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment (Santa Barbara: Praeger, 2010) p. 8.
    [2] ibid.

    1 comments so far

    Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
    EmoticonEmoticon