Friday, December 11, 2015

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan




Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.

Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.

Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.

Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.

Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?

Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi. Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.

Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.

Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali, Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.

Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.

Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.

Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)

Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam. Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.

Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.

Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.

Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.

Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab. 

Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar. Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain..

1 comments so far

Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon