Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai
pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah
mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan
manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh
karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut
membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan
bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan
keharusan. Karenanya, peradaban umat manusia itu tidak lepas dari organisasi
masyarakat tersebut.
Seperti yang telah
di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi
kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena
sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan
berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa
kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu
menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir,
jiwa dan emosi mereka.
Setelah organisasi
kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini,
maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai
penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Menurutnya, peran sebagai
penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota
masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas
anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka
sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau
menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan,
otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.
Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang
kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun
berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala
negara sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan
suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal
ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah
memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat
manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang
bersifat membangun dunia ini.
Namun demikian,
pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan
bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama,
sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil
pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang
yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau
keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini
sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara.
lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu
Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di
sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua,
ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan,
dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya
dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan
tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu
akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi. Ketiga, ia mempunyai
kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala
negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen.
Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan
memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari
cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara
dengan baik.
Sebuah syarat lagi
yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu
Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan
Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat
tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan
Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya
mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci
mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan
dalam Munawir Sadjali, Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk
menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus
dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai
kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam
menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan
dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para
cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda
pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien
dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari
luar.
Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan
suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi
dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk
al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk
al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan
sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan
dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada
gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua
yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga
tipe yaitu ;
1. Negara hukum
demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler
(siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik
ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi
Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum
Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi
Islam. Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain
al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam
kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun,
Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah
(negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia
tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik
Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari
golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan
politik.
Yang menarik dari
klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan
menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu
menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi.
Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis
makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi
menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan
kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi
penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat
peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur
suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti
tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir
hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu
memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan
hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur
suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi
tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat
tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah).
Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia
memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang
lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua,
tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat
terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada
tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa
setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke
pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap
beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan
makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan
berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga
memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka
dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan,
kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang
empuk untuk diserang musuh dari luar. Setelah mengalami keempat tahapan
tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran
ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara
akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain..
1 comments so far
nice artikel nya gan :D
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon