Sunday, March 13, 2016

Peran Perempuan dalam Politik Menurut Islam

Dalam pandangan Islam perempuan adalah makhluk Tuhan, sama seperti laki-laki. Sebagai hamba Tuhan perempuan juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan yaitu memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tuhan memberikan laki-laki dan perempuan potensi atau kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Di samping itu Islam juga mengharuskan laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk mengatur dunia yaitu menghapus keruskan sosial.[1] Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat.

Pandangan ISlam Tentang Aktivitas Politik Perempuan


Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka serta masyarakat umum. Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh umat manusia.

Hak politik perempuan adalah hak ikut menangani masalah Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Di dalam Al-qur’an tidak ditemukan satu ayat pun yang melarang perempuan untuk aktif di dalam kegiatan perpolitikan termasuk menjadi pemimpin tertinggi. Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas danterampil.[2]

Perempuan dalam Islam tidak dibatasi ruang geraknya hanya pada sektor domestik rumah tangga, melainkan dipersilahkan aktif di sektor publik, termasuk bidang iptek, ekonomi, sosial, ketenagakerjaan, HAM dan politik. Akan tetapi, Islam menggarisbawahi bahwa keaktifannya itu tidak sampai menjerumuskan dirinya ke luar batas-batas moral yang digariskan agama.[3] Selain itu Islam mengakui hak-hak politik perempuan ketika dia juga bisa mengurus keluarga ataupun rumah tangganya. Diantara hak-hak politik perempuan yang diberikan Islam adalah hak untuk ikut serta berperan aktif dalam berbagai kehidupan termasuk di dalamnya hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat.

Hak ini dapat dipahami dari ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan mereka. Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Syura/ 42: 38 yang berbunyi:

و الذين استجا بوا لربهم واقا مواالصلوة صلى وامرهم شو رى بينهم صلى و مما رزقنهم ينفقو ن (38)[4]

Menurut ayat tersebut, secara implisit dapat dibahami bahwa perempuan diberikan kebebasan yang sama dengan laki-laki tanpa perbedaan untuk memberikan pendapat, saran ataupun kritik dalam bentuk apapun untuk menyelesaikan masalah guna menciptakan suatu masyarakat yang baik.

Keterlibatan perempuan secara langsung dalam segala bidang kehidupan telah terlihat pada perkembangan sejarah umat Islam hingga pada zaman sekarang ini. Hak dan kedudukan perempuan sudah mendapat tempat sepatutnya semenjak Islam datang. Sejarah telah mencatat bahwa kaum perempuan di masa Rasulullah SAW digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al-Qur’an, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, seperti figur ratu Bulqis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim).[5]Cerita tersebut merupakan ibarat yang menunjukkan wanita juga mampu atau dapat menjalankan roda kepemimpinan dengan baik, tidak kalah dengan laki-laki.

Pada masa Rasulullah ditemukan sejumlah perempuan yang memiliki kemampuan intelektual dan prestasi sosial yang cemerlang samahalnya dengan yang telah diraih kaum laki-laki, seperti para istri Rasul. Dalam jaminan al-Qur’an, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya.[6]

Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi yang lain, Fatimah (anak), Zainab (Cucu), dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestic maupun public yang patriarkis. Perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjantian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintahan. Sejumlah perempuan sahabat nabi ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan.

Melalui pembahasan di atas dapat diketahui bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik sekalipun, sepanjang tidak melanggar fitrahnya sebagai seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga dan norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Yang artinya, bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan di dalam Islam.



[1] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[2] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[3]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 43.
[4] Al-Syura (42): 38.
[5]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 42.
[6]Ibid.,hlm. 42.

Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon