Dalam pandangan Islam perempuan adalah
makhluk Tuhan, sama seperti laki-laki. Sebagai hamba Tuhan perempuan juga
memiliki tanggungjawab kemanusiaan yaitu memakmurkan bumi dan mensejahterakan
manusia. Dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Tuhan memberikan laki-laki dan perempuan potensi atau kemampuan
untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah
tersebut. Di samping itu Islam juga mengharuskan laki-laki dan perempuan
bekerjasama untuk mengatur dunia yaitu menghapus keruskan sosial.[1] Keberadaan keduanya di
tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan
merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat.
Islam memandang bahwa keberadaan
perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki
kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka serta
masyarakat umum. Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak
terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi
pemeliharaan seluruh umat manusia.
Hak politik perempuan adalah hak ikut
menangani masalah Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Di dalam
Al-qur’an tidak ditemukan satu ayat pun yang melarang perempuan untuk aktif di
dalam kegiatan perpolitikan termasuk menjadi pemimpin tertinggi. Islam telah
memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani
peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas danterampil.[2]
Perempuan dalam Islam tidak dibatasi
ruang geraknya hanya pada sektor domestik rumah tangga, melainkan dipersilahkan
aktif di sektor publik, termasuk bidang iptek, ekonomi, sosial,
ketenagakerjaan, HAM dan politik. Akan tetapi, Islam menggarisbawahi bahwa
keaktifannya itu tidak sampai menjerumuskan dirinya ke luar batas-batas moral
yang digariskan agama.[3] Selain itu Islam mengakui
hak-hak politik perempuan ketika dia juga bisa mengurus keluarga ataupun rumah
tangganya. Diantara hak-hak politik perempuan yang diberikan Islam adalah hak
untuk ikut serta berperan aktif dalam berbagai kehidupan termasuk di dalamnya hak
untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Hak ini dapat dipahami dari ayat
al-Qur’an yang memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bermusyawarah dalam
memecahkan segala urusan mereka. Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Syura/
42: 38 yang berbunyi:
و الذين استجا بوا لربهم واقا مواالصلوة صلى وامرهم شو رى بينهم صلى و مما رزقنهم ينفقو ن (38)[4]
Menurut ayat tersebut, secara implisit
dapat dibahami bahwa perempuan diberikan kebebasan yang sama dengan laki-laki
tanpa perbedaan untuk memberikan pendapat, saran ataupun kritik dalam bentuk
apapun untuk menyelesaikan masalah guna menciptakan suatu masyarakat yang baik.
Keterlibatan perempuan secara langsung
dalam segala bidang kehidupan telah terlihat pada perkembangan sejarah umat
Islam hingga pada zaman sekarang ini. Hak dan kedudukan perempuan sudah
mendapat tempat sepatutnya semenjak Islam datang. Sejarah telah mencatat bahwa
kaum perempuan di masa Rasulullah SAW digambarkan sebagai perempuan yang aktif,
sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al-Qur’an, figur ideal seorang
muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, seperti
figur ratu Bulqis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim).[5]Cerita tersebut merupakan ibarat yang
menunjukkan wanita juga mampu atau dapat menjalankan roda kepemimpinan dengan
baik, tidak kalah dengan laki-laki.
Pada masa Rasulullah ditemukan sejumlah
perempuan yang memiliki kemampuan intelektual dan prestasi sosial yang
cemerlang samahalnya dengan yang telah diraih kaum laki-laki, seperti para
istri Rasul. Dalam jaminan al-Qur’an, perempuan dengan leluasa memasuki semua
sektor kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor
publik lainnya.[6]
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar
perempuan yang ikut memainkan peran-peran bersama kaum laki-laki. Khadijah,
Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi yang lain, Fatimah (anak), Zainab
(Cucu), dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang
tema-tema sosial politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestic maupun
public yang patriarkis. Perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjantian, kontrak) untuk
kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintahan. Sejumlah perempuan sahabat nabi
ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan
ketidakadilan.
Melalui
pembahasan di atas dapat diketahui bahwa Islam tidak pernah
dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah dalam segala bidang kehidupan,
termasuk
dalam bidang
politik sekalipun,
sepanjang tidak melanggar fitrahnya sebagai seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga dan
norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Yang artinya, bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki
maupun perempuan di dalam Islam.
[1] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai
Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[2] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai
Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[3]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan
dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan
Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 43.
[4]
Al-Syura (42): 38.
[5]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan
dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan
Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 42.
[6]Ibid.,hlm. 42.
Terimkasih sudah berkunjung, mari berdiskusi di blog kami. Kajian Politik itu seru dan dinamis. Jadi, lihatlah disekeliling anda, fenomena politik akan senantiasa kita jumpai.
EmoticonEmoticon