Dalam bahasa
sederhana, gender dipahami sebagai atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan
dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan atau laki-laki.[1]
Gender berbeda dengan sex yang merupakan atribut yang dilekatkan secara
biologis kepada laki-laki atau perempuan.
Ketidakadilan gender
termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yakni marginalisasi atau pemiskinan
perempuan dalam kehidupan ekonomi, subordinasi atau penomorduaan dalam
kehidupan politik, stereotype atau pelabelan negatif dalam kehidupan
budaya, violence atau kekerasan dalam kehidupan sosial dan double
burden atau beban ganda dalam kehidupan keluarga.[2]
Pemiskinan perempuan
dalam ekonomi acapkali kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesempatan
kerja lebih terbuka bagi laki-laki ketimbang perempuan. Demikian pula
penghargaan terhadap kedua makhluk ini, yang lebih sering tidak adil terhadap
perempuan.
Dalam kehidupan
politik, perempuan sering dianggap tidak mampu terjun dalam kehidupan politik,
termasuk tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting.
Dalam tubuh Parpol
misalnya, penerimaan perempuan dalam pencalonan legislatif lebih karena
memenuhi kewajiban kuota minimal yang dipersyaratkan undang-undang ketimbang
itikad baik pelibatan perempuan untuk kehidupan parpol yang lebih berkualitas. Pemimpin,
dalam benak banyak orang juga diasosiasikan sebagai laki-laki, sesuatu yang
maskulin dan kuat ketimbang sebaliknya.
Pelabelan negatif
melekat pada diri perempuan, dianggap sebagai makhluk lemah yang tidak pantas
melakukan sesuatu ke arah yang lebih maju. Fungsi perempuan adalah pendamping
suami, dan hanya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka tidak layak mendapat
pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga.
Sedang dalam
kehidupan sosial, kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga
sering kita temui kasusnya. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, namun juga
kekerasan seksual dan psikis. Pelaku adalah orang yang tidak menghargai
perempuan, menganggap mereka sebagai objek yang bisa diperlakukan semena-mena.
Seorang suami yang merasa istri adalah propertinya, akan melakukan apa saja
untuk kebutuhannya.
Beban perempuan dalam
rumah tangga semakin bertumpuk manakala posisinya sebagai ibu dan istri harus
dilaksanakan secara bersamaan tanpa pembagian tugas dan peran dengan suaminya. Pada
saat yang sama, dia harus merawat dan memberikan pendidikan memadai untuk anak,
melayani suami luar dalam dan
juga mengerjakan tugas rumah tangga yang umumnya dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan (mencuci baju,
piring, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya).